BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peningkatan kualitas proses pembelajaran merupakan suatu proses yang harus dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Proses pembelajaran merupakan suatu proses dimana semua potensi yang dimiliki oleh peserta didik dikembangkan oleh guru. Peran guru apalagi untuk siswa sekolah dasar tidak bisa tergantikan oleh perangkat lain. Siswa memerlukan guru karena siswa adalah organisme yang sedang berkembang yang memerlukan bimbingan dan bantuan orang dewasa (Wina Sanjaya, 2006: 52).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Dwi Siswoyo, dkk (2008: 44), di dalam komponen pendidikan ada tiga unsur sentral dalam upaya pendidikan. Tiga unsur sentral tersebut adalah pendidik atau guru, peserta didik atau siswa dan tujuan pendidikan. Proses pendidikan akan terjadi bila ketiga unsur tersebut saling berhubungan secara fungsional dalam satu kesatuan yang padu. Oleh karena itu, guru sebagai salah satu unsur sentral dalam pendidikan memiliki peran penting dalam proses pembelajaran untuk mengantarkan siswa kepada tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Oemar Hamalik (2001: 171) mengemukakan bahwa pengajaran yang efektif adalah pengajaran yang menyediakan kesempatan belajar sendiri atau melakukan aktivitas sendiri. Artinya pembelajaran yang efektif memerlukan keterlibatan siswa di dalamnya. Siswa ditempatkan sebagai subjek didik, sebagai subjek didik siswa harus terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Siswa tidak hanya bertugas menerima segala macam informasi, tetapi siswa harus berusaha mendapatkan dan memperoleh informasi dengan usahanya sendiri.
Siswa yang berusaha mengalami dan berbuat selama pembelajaran dapat membentuk pola pengetahuan yang lebih bermakna bagi siswa. Dengan melibatkan siswa secara aktif maka proses pembelajaran telah dirancang untuk mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor siswa. Selain itu tanpa adanya partisipasi belajar dari siswa, proses belajar tidak mungkin berlangsung dengan baik karena proses belajar melibatkan interaksi antara peserta didik dan pendidik. Dengan kata lain partisipasi belajar siswa merupakan salah satu prinsip yang perlu diperhatikan oleh guru dalam proses pembelajaran.
Tugas dan tanggung jawab utama seorang guru atau pengajar adalah mengelola pengajaran dengan lebih efektif, dinamis, efisien, dan positif yang ditandai dengan adanya kesadaran dan keterlibatan aktif diantara dua subjek pengajaran, guru sebagai penginisiatif awal dan pengarah serta pembimbing, sedang peserta didik sebagai yang mengalami dan terlibat aktif untuk memperoleh perubahan diri dalam pengajaran (Ahmad Rohani, 2004: 1).
Oleh karena itu, upaya peningkatan partisipasi belajar dapat diterapkan dalam semua mata pelajaran yang diajarkan kepada peserta didik, tidak terkecuali dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Etin Solihatin & Raharjo ( 2009:15) menjelaskan pada dasarnya tujuan pendidikan IPS adalah untuk mendidik dan memberi bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan diri sesuai bakat, minat, kemampuan, dan lingkungannya, serta berbagai bekal siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Artinya pola pembelajaran IPS lebih menekankan pada upaya pembekalan peserta didik, pembelajaran IPS bukan semata-mata hanya menghafal sejumlah konsep saja, melainkan terletak pada upaya agar apa yang telah dipelajari oleh peserta didik dapat menjadi bekal bagi dirinya untuk menjalani kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti dalam pembelajaran IPS pada siswa kelas V SD Negeri 04 Salo, siswa kurang memiliki partisipasi belajar selama proses pembelajaran berlangsung. Kondisi pembelajaran yang dilakukan oleh guru kurang merangsang partisipasi belajar siswa. Hal ini dapat diamati dari aktivitas siswa yang ramai sendiri ketika guru menjelaskan materi di depan kelas, siswa mengobrol dengan teman sebangku, dan siswa sibuk dengan aktivitas lain selama pembelajaran. Pada saat guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapatnya, banyak siswa yang diam. Ketika guru bertanya kepada siswa, hanya ada beberapa siswa yang menjawab atau memberikan tanggapan, hal ini menunjukkan kurangnya respons yang diberikan siswa terhadap pembelajaran IPS yang sedang berlangsung.
Selama mengamati proses pembelajaran di kelas V SD Negeri 04 Salo, guru berfokus menggunakan buku paket (text book) sebagai sumber utama belajar bagi siswa selama pembelajaran IPS. Ketika guru memulai pembelajaran siswa diminta untuk membaca dan mempelajari materi dari buku paket IPS masing- masing siswa. Setelah itu guru menjelaskan di depan kelas dan siswa menyimak sambil mendengarkan informasi atau pengetahuan yang diberikan guru. Hal ini menjadikan kondisi pembelajaran menjadi tidak proposional, guru aktif tetapi sebaliknya siswa menjadi pasif. Interaksi dalam proses pembelajaran lebih bersifat satu arah karena belum adanya hubungan timbal balik antara guru dan peserta didik.
Guru sebagai pemegang kendali dalam kelas tentunya memiliki pemikiran dan tindakan yang nyata untuk meningkatkan partisipasi belajar siswa. Dengan adanya keterlibatan siswa secara langsung selama pembelajaran IPS diharapkan pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa, proses belajar tidak hanya sekedar transfer konsep saja atau hafalan. Saat siswa memiliki aktivitas jasmani maka aktivitas psikisnya akan tumbuh dengan sendirinya. Atas dasar kondisi pembelajaran IPS di kelas V SD Negeri 04 Salo yang menunjukkan masih kurangnya partisipasi belajar siswa selama proses pembelajaran IPS maka diperlukan suatu usaha untuk meningkatkan partisipasi belajar dalam pembelajaran IPS.
Pemahaman dan pengetahuan guru tentang metode-metode pembelajaran dapat digunakan sebagai usaha perbaikan sistem pembelajaran dalam pelajaran IPS. Salah satu metode yang dapat diterapkan dalam pembelajaran IPS adalah metode role playing. Dengan menggunakan metode role playing siswa akan mampu ikut serta dalam proses pembelajaran, karena metode ini melibatkan siswa untuk beraktivitas baik secara fisik maupun psikis. Ketika siswa bertanya atau mengungkapkan pendapatnya, itu berarti siswa telah memiliki partisipasi belajar di dalam proses pembelajaran. Apalagi selama proses pembelajaran siswa diajak untuk melakukan sesuatu, diajak untuk berdiskusi, meyimpulkan materi pelajaran, mencatat atau meringkas, maka proses pembelajaran yang dilakukan telah menekankan siswa sebagai subjek didik.
Penggunaan metode role playing dapat dijadikan sebagai sarana dalam meningkatkan partisipasi belajar dalam pembelajaran IPS. Hal ini dikarenakan partisipasi belajar menekankan pada kesadaran peserta didik untuk ikut berperan serta dalam proses pembelajaran sehingga peserta didik dapat mengembangkan segala potensi dan aspek perkembangannya, baik itu perkembangan fisik, bahasa, emosi, dan sosial.
Dengan menggunakan metode role playing ini semua siswa akan ikut berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran. Peserta didik akan membutuhkan peserta didik lain untuk meniru perbuatan, reaksi dan menghasilkan dunia seperti yang mereka lihat, sehingga akan terjalin suatu hubungan sosial di dalamnya. Alasan lain penggunaan metode role playing ini karena dapat dipergunakan sebagai suatu metode untuk memecahkan suatu masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan hubungan interpersonal.
Keuntungan lain yang didapat dengan menggunakan bermain peran diharapkan siswa dapat belajar mengenal berbagai peran dalam kehidupan nyata, siswa dapat bertanggung jawab terhadap tugasnya, siswa dapat belajar untuk menerima pendapat atau masukan dari orang lain, siswa dapat memperhatikan pendapat orang lain, mampu mengungkapkan pendapatnya dan memahami fakta mengenai nilai-nilai yang ada di masyarakat. Dengan demikian siswa akan memiliki bekal yang bermanfaat pada saat terjun ke masyarakat kelak karena ia akan mendapatkan diri dalam situasi di mana begitu banyak peran terjadi, seperti dalam lingkungan keluarga, bertetangga, lingkungan sekolah, dan lain-lain.
Pembelajaran dengan metode role playing menunjang kerja sama siswa dalam bentuk kelompok. Hal ini sejalan dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Ketika bermain peran, peserta didik akan beraksi dan berinteraksi dengan peserta didik lainnya dalam bentuk permainan sosial, dimana siswa akan belajar memahami orang lain, saling berhubungan, siswa akan belajar tentang nilai-nilai sosial yang ada dalam kehidupan.
Dengan menggunakan metode pembelajaran role playing diharapkan siswa dapat memiliki partisipasi belajar selama pembelajaran IPS. Dalam hal ini peneliti mengambil judul “Meningkatkan Partisipasi Belajar Siswa Dalam Pembelajaran IPS Menggunakan Metode Role Playing Pada Siswa Kelas V SD Negeri 04 Salo”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah yang berkaitan dengan proses pembelajaran IPS sebagai berikut:
1. Kondisi pembelajaran yang dilakukan oleh guru kurang merangsang partisipasi belajar siswa.
2. Guru lebih berfokus menggunakan buku paket sebagai sumber utama belajar bagi siswa selama pembelajaran IPS (text book).
3. Kurang optimalnya respon yang diberikan siswa selama proses pembelajaran IPS berlangsung.
4. Dalam pembelajaran IPS di kelas, guru lebih sering menggunakan metode ceramah untuk menjelaskan materi kepada siswa.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimana meningkatkan partisipasi belajar menggunakan metode role playing pada pembelajaran IPS di kelas V SD Negeri 04 Salo?”
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan penggunaan metode role playing untuk meningkatkan partisipasi belajar pada pembelajaran IPS di kelas V SD Negeri 04 Salo.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan memiliki kontribusi dalam mencetak generasi penerus bangsa yang mampu berpartisipasi dalam masyarakat demokratis serta memiliki tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa
Membantu siswa untuk meningkatkan dan mendorong partisipasi belajar dalam mengikuti proses pembelajaran IPS di kelas.
b. Bagi guru
Guru dapat mengetahui metode pembelajaran yang cocok digunakan untuk meningkatkan partisipasi belajar dalam pembelajaran IPS.
c. Bagi sekolah
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan sumbangan pemikiran sebagai bentuk usaha peningkatan kualitas pembelajaran di SD Negeri 04 Salo.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Partisipasi Belajar
1. Pengertian Partisipasi
Partisipasi berasal dari Bahasa Inggris “participation” yang berarti pengambilan bagian atau pengikut sertaan. Krathwohl dan Blomm dalam Dimyati & Mudjiono (2006: 28) mengemukakan salah satu ranah afektif siswa dalam belajar adalah partisipasi yaitu mencakup kerelaan, kesediaan memperhatikan dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan, misalnya mematuhi aturan.
Berdasarkan pendapat Tjokrowinoto dalam Suryobroto (1997: 278) partisipasi adalah penyertaan mental dan emosi seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk mengembangkan daya pikir dan perasaan mereka bagi terciptanya tujuan-tujuan bersama tanggung jawab terhadap tujuan tersebut.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi adalah keterlibatan mental, fisik dan emosi seseorang dalam memberikan respon terhadap kegiatan yang sedang dilakukan guna mencapai tujuan bersama. Pada proses belajar mengajar di sekolah partisipasi ini dapat diartikan sebagai keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Partisipasi sangat penting untuk menciptakan pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan. Dalam proses belajar sendiri partisipasi siswa sendiri menentukan tercapai atau tidaknya suatu tujuan pembelajaran.
2. Pengertian Belajar
Dimyati & Mudjiono (2006: 7), mengemukakan bahwa belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Proses belajar terjadi jika siswa memperoleh sesuatu dari lingkungan sekitarnya. Lingkungan berupa keadaan alam, benda-benda, hewan, tumbuhan, manusia atau hal-hal lain dapat dijadikan sebagai bahan belajar.
Gagne seperti yang dikutip Dimyati & Mudjiono (2006: 10) menguraikan belajar merupakan kegiatan yang kompleks, hasil belajar berupa kapabilitas. Jadi setelah belajar sesuatu orang akan memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai. Dan tentunya timbulnya kapabilitas itu berasal dari stimulasi lingkungan dan proses kognitif yang dilakukan oleh siswa itu sendiri.
Pengertian belajar menurut Slameto (2003: 2) ialah “suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.”
Ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar adalah perubahan terjadi secara sadar, perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional, perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif, perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara, perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah, dan perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku.
Lester D. Crow dalam Syaiful Sagala (2010: 15) mengemukakan “belajar ialah upaya untuk memperoleh kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap- sikap. Belajar dikatakan berhasil manakala seseorang mampu mengulangi kembali materi yang telah dipelajarinya”.
Belajar menurut Slavin dalam Trianto (2009: 16) mendefinisikan belajar sebagai:
“Learning is usually defined as a change in an individual caused by experience. Changes caused by developmnet (such as growing taller) are not instances of learning. Neither are characteristic of individuals that are present at birth (such as reflexes and respons to hunger or pain). However, humans do so much learning from the day of their birth (and some say earlier) that learning and development are inseparably linked”.
Belajar secara umum diartikan sebagai perubahan pada individu yang terjadi melalui pengalaman, dan bukan karena pertumbuhan atau perkembangan tubuhnya atau karakteristik seseorang sejak lahir. Manusia banyak belajar sejak lahir. Bahwa belajar dan perkembangan erat kaitannya.
Dengan demikian belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku pada siswa sebagai akibat dari pengalaman atau interaksi dengan lingkungan disekitarnya. Bukti bahwa sesorang telah belajar ialah terjadinya perubahan tingkah laku pada orang tersebut misalnya dari tidak tahu menjadi tahu dan dari tidak mengerti menjadi mengerti. Perubahan tingkah laku sendiri dapat dilihat dari sejumlah aspek yaitu pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani, etis dan sikap. Sebagai contoh siswa belum memahami tentang pengertian benda mati, setelah siswa membaca buku atau melihat lingkungan di sekitar tempat tinggalnya, melihat benda-benda, siswa menjadi paham tentang pengertian benda mati. Contoh ini merupakan perubahan pengetahuan sebagai akibat dari proses belajar.
3. Pengertian Partisipasi Belajar
Pembelajaran dapat diberi arti sebagai setiap upaya yang sistematik dan disengaja oleh pendidik untuk menciptakan kondisi-kondisi agar peserta didik melakukan kegiatan belajar (Sudjana, 2005: 8). Artinya dalam kegiatan pembelajaran terjadi suatu interaksi edukatif antara pendidik dan peserta didik untuk mencapai tujuan tertentu.
Karena dalam kegiatan proses pembelajaran harus suatu ada interaksi edukatif maka peserta didik harus berpartisipasi dalam kegiatan belajar secara aktif. Melalui partisipasi siswa secara aktif maka akan terjadi interaksi dua arah antara guru dengan siswa. Sehingga partisipasi belajar berarti keikutsertaan siswa dalam suatu kegiatan belajar yang ditunjukkan dengan adanya perilaku fisik dan psikisnya.
Partisipasi belajar akan menuntut siswa untuk ikut serta bertanggung jawab terhadap keberhasilan pencapaian tujuan belajar sebab partisipasi siswa dibutuhkan dalam menetapkan tujuan dan dalam kegiatan belajar dan mengajar (Hasibuan & Moedjiono, 2006: 7). Oleh sebab itu pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang menyediakan kesempatan belajar sendiri bagi siswa melalui berbagai aktifitas belajar.
Paul D. Dierich (Oemar Hamalik, 2001: 172–173) membagi kegiatan belajar dalam delapan kelompok yaitu:
a. Kegiatan-kegiatan visual
Membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen, demostrasi, pameran dan mengamati orang lain bekerja atau bermain.
b. Kegiatan-kegiatan lisan (oral)
Mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi dan interupsi.
c. Kegiatan-kegiatan mendengarkan
Mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan dan mendengarkan radio.
d. Kegiatan-kegiatan menulis
Menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, membuat rangkuman, mengerjakan tes dan mengisi angket.
e. Kegiatan-kegiatan menggambar
Menggambar, membuat grafik, chart, diagram, peta dan pola.
f. Kegiatan-kegiatan metric
Melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menari, dan berkebun.
g. Kegiatan-kegiatan mental
Merenungkan, mengingat, memecahkan masalah, menganalisis faktor- faktor, melihat hubungan dan membuat keputusan.
h. Kegiatan-kegiatan emosional
Minat, membedakan, berani, tenang dan lain-lain.
Adapun aspek yang dikaji dalam partisipasi belajar siswa (Made Sumadi,2002: 6) adalah:
a. Partisipasi bertanya.
b. Partisipasi menjawab.
c. Menyelesaikan tugas secara tuntas.
d. Partisipasi dalam diskusi.
e. Mencatat penjelasan guru.
f. Menyelesaikan soal di papan tulis.
g. Mengerjakan tes secara individu.
h. Menyimpulkan materi pelajaran di akhir pelajaran.
Nana Sudjana (2000: 55) menyebutkan bahwa kegiatan pembelajaran dibutuhkan keikutsertaan (partisipasi) siswa dalam kegiatan pembelajaran.
Kegiatan siswa diwujudkan dalam tiga tahapan kegiatan pembelajaran yaitu perencanaan program (program plannning), pelaksanaan program (program implementation), dan penilaian program (program evaluation) kegiatan pembelajaran.
a. Perencanaan program
Partisipasi pada tahap perencanaan adalah keterlibatan siswa dalam kegiatan mengidentifikasi kebutuhan belajar, sumber-sumber yang tersedia dan kemungkinan hambatan yang dihadapi dalam kegiatan pembelajaran, penyusunan prioritas kebutuhan, perumusan tujuan belajar, dan penetapan program kegiatan pembelajaran.
b. Pelaksanaaan program
Partisipasi dalam tahap pelaksanaan adalah keterlibatan peserta didik dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk belajar, yang mencakup:
1) kedisiplinan siswa yang ditandai dengan keteraturan dalam kehadiran pada setiap kegiatan pembelajaran,
2) pembinaan hubungan antar siswa dan antara siswa dengan guru sehingga tercipta hubungan kemanusiaan yang terbuka, akrab, terarah, saling menghargai, dan saling membantu,
3) interaksi kegiatan antara siswa dan guru dilakukan melalui hubungan horizontal,
4) tekanan kegiatan pembelajaran adalah pada peranan siswa yang lebih aktif melakukan kegiatan pembelajaran.
c. Evaluasi program
Evaluasi dilakukan untuk menghimpun, mengolah, dan menyajikan data atau informasi yang dapat digunakan sebagai masukan dalam pengambilan keputusan. Partisipasi dalam tahap evaluasi ini bermanfaat bagi siswa untuk mengetahui tentang sejauh mana perubahan yang telah dialami dan dicapai oleh mereka melalui kegiatan pembelajaran partisipatif.
Partisipasi belajar merupakan keikutsertaaan atau keterlibatan siswa baik secara fisik, mental maupun sosial selama proses pembelajaran berlangsung. Aspek-aspek dari partisipasi yang dapat dijadikan alat ukur tingkat partisipasi belajar adalah mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan, menyelesaikan tugas secara tuntas, ikut serta berdiskusi, mencatat penjelasan guru, menyelesaikan soal di papan tulis, mengerjakan tes secara individu, dan meyimpulkan pelajaran. Partisipasi belajar dalam pembelajaran penting guna menciptakan pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai subjek didik, dimana siswa tidak hanya duduk mendengar informasi dari guru, tetapi siswa bertindak secara aktif untuk memperoleh pengetahuan dan pemahamannya sendiri melalui arahan dan bimbingan dari guru.
Dengan adanya partisipasi belajar dari siswa, pembelajaran akan lebih terfokuskan untuk mendidik dan mengembangkan potensi dan aspek-aspek perkembangan siswa kearah yang lebih optimal. Siswa benar-benar diposisikan sebagai subyek yang sedang belajar. Oleh karena itu salah satu tugas guru adalah menyediakan dan menyiapkan kondisi pembelajaran yang dapat merangsang keterlibatan siswa di dalamnya. Siswa yang belajar dengan mengalami secara langsung akan memberikan pengetahuan yang lebih bermakna bagi siswa dan pengetahuannya dapat lebih tahan lama tersimpan dalam memori ingatan siswa.
B. Metode Role Playing
1. Pengertian Metode Role Playing
Manusia merupakan makhluk sosial, manusia hidup selalu membutuhkan orang lain, mereka tidak bisa hidup seorang diri tanpa bantuan orang lain. Dalam kehidupan sosial sendiri manusia selalu berinteraksi dan bekerja sama dengan manusia lain. Asumsi bahwa manusia merupakan makhluk sosial dan selalu bekerjasama dengan orang lain inilah yang menjadi dasar dari pengembangan metode pembelajaran sosial termasuk di dalamnya metode pembelajaran role playing.
Oemar Hamalik (2001: 199) mengemukakan bermain peran adalah suatu jenis teknik simulasi yang umumnya digunakan untuk pendidikan sosial dan hubungan antar insani. Teknik itu bertalian dengan studi kasus, tetapi kasus tersebut melibatkan individu manusia dan tingkah laku mereka atau interaksi antarindividu tersebut dalam bentuk dramatisasi.
Berdasarkan pemikiran Syaiful Sagala (2003: 213) sosiodrama (role playing) berasal dari kata sosio dan drama. Sosio berarti sosial menunjuk pada objeknya yaitu masyarakat, menunjuk pada kegiatan-kegiatan sosial, dan drama berarti mempertunjukkan, mempertontonkan atau memperlihatkan. Sudjana (2005: 134) mengungkapkan bahwa bermain peran adalah teknik kegiatan pembelajaran yang menekankan pada kemampuan penampilan peserta didik untuk memerankan status dan fungsi pihak-pihak lain yang terdapat pada kehidupan nyata.
Dari berbagai pendapat ahli di atas dapat disimpulkan, metode role playing ialah metode pembelajaran yang dalam kegiatan belajarnya peserta didik mendapat tugas untuk mendramatisasikan atau memerankan suatu situasi sosial yang mengandung suatu problem, siswa belajar memainkan peran-peran tertentu yang ada dan nyata dalam kehidupan secara berkelompok agar peserta didik dapat memecahkan masalah yang muncul dari suatu situasi sosial tersebut.
Metode bermain peran sesuai digunakan dalam pembelajaran IPS, karena dengan metode role playing siswa akan ditugaskan untuk berbuat (berperan) memainkan peran-peran tertentu yang ada dalam kehidupan nyata. Misalnya siswa ada yang berperan sebagai tokoh Pangeran Diponegoro. Dengan role playing siswa memiliki aktivitas sendiri dalam kegiatan pembelajaran sehingga partisipasi belajarnya dapat ditingkatkan. Penggunaan metode role playing ini menekankan pentingnya keterlibatan langsung atau partisipasi peserta didik dalam situasi dan masalah dalam suatu kelompok. Artinya siswa tidak hanya duduk dan mendengar penjelasan guru, tetapi siswa berbuat, bertindak, mengalami dan membentuk pengalaman belajar masing-masing baik secara individu maupun dengan bantuan kelompok.
2. Langkah-langkah Metode Role Playing
Guru bertugas mendidik dan memberikan pengajaran di sekolah. Dalam menyampaikan materi kepada siswa, tentunya guru perlu memperhatikan langkah- langkah yang benar sesuai dengan metode pembelajaran yang digunakan. Berikut langkah-langkah penggunaan metode role playing menurut Oemar Hamalik (2001: 215–217) sebagai berikut:
a. Persiapan dan instruksi
1) Guru memiliki situasi/dilema bermain peran. Situasi yang dipilih harus menitik beratkan pada jenis peran, masalah dan situasi familiar, serta penting bagi siswa.
2) Sebelum pelaksanaan bermain peran, siswa harus mengikuti latihan pemanasan, latihan-latihan ini dikuti oleh semua siswa, baik sebagai partisipasi aktif maupun pengamat aktif.
3) Guru memberikan instruksi khusus kepada peserta bermain peran setelah memberikan penjelasan pendahuluan kepada keseluruhan kelas.
4) Guru memberitahukan peran-peran yang akan dimainkan serta memberikan instruksi-instruksi yang bertalian dengan masing- masing peran kepada audience.
b. Tindakan dramatik dan diskusi
1) Para aktor terus melakukan perannya sepanjang situasi bermain peran, sedangkan audience berpartisipasi dalam penugasan awal kepada pemeran.
2) Bermain peran harus berhenti pada titik-titik penting apabila terdapat tingkah laku tertentu yang menuntut dihentikannya permainan tersebut.
3) Keseluruhan kelas selanjutnya berpartisipasi dalam diskusi yang terpusat pada situasi bermain peran.
c. Evaluasi bermain peran
1) Siswa memberikan keterangan, baik secara tertulis maupun dalam bentuk diskusi tentang keberhasilan dan hasil-hasil yang dicapai dalam bermain peran.
2) Guru menilai efektivitas dan keberhasilan bermain peran.
3) Guru membuat bermain peran yang telah dilaksanakan dan telah dinilai tersebut dalam sebuah jurnal sekolah (kalau ada), atau pada buku catatan guru.
Berdasarkan pendapat Sudjana (2005: 136–137) langkah-langkah penggunaan metode role playing sebagai berikut:
a. Pendidik bersama peserta didik menyiapkan bahan belajar berupa topik yang akan dibahas. Topik itu hendaknya mengandung peran- peran yang seharusnya terjadi dalam situasi tertentu.
b. Pendidik bersama peserta didik mengidentifikasi dan menetapkan peran-peran berdasarkan kedudukan dan tugas masing-masing.
c. Pendidik membantu peserta didik untuk menyiapkan tempat, waktu, dan alat-alat yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran.
d. Pendidik membantu para peserta didik untuk melaksanakan permainan peran dengan: 1) menjelaskan tujuan dan langkah- langkah bermain peran, sedangkan peserta didik bertanya, memperhatikan, dan mencatat hal-hal yang dipandang perlu mengenai penjelasan yang diberikan pendidik, 2) para peserta didik dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama memainkan peran dan kelompok kedua sebagai pengamat, 3) pendidik menjelaskan tugas masing-masing kelompok untuk dilakukan selama kegiatan belajar berlangsung, 4) kelompok pengamat menyiapkan diri, dan apabila perlu mencatat hasil pengamatan pada format khusus, dan 5) selesai bermain peran, para peserta didik dibantu oleh pendidik membahas hasil pengamatan kelompok pengamat.
e. Pendidik bersama para peserta didik melakukan penilaian terhadap proses dan hasil penggunaan teknik tersebut.
Dari pendapat diatas dapat diuraikan bahwa langkah-langkah dalam role playing terdiri dari tiga tahap yaitu tahap persiapan, tahap tindakan dan diskusi, serta tahap evaluasi. Pada tahap persiapan, guru membantu siswa untuk mengenalkan dan memahami situasi dalam bermain peran, misalnya menjelaskan tentang keadaan peristiwa dan tokoh-tokoh yang akan diperankan. Pada tahap persiapan ini siswa juga dibentuk dalam dua kelompok yaitu kelompok partisipasi aktif dan kelompok pengamat. Siswa diberi penjelasan tentang tanggung jawab dari setiap kelompok baik itu kelompok partisipan atau kelompok pengamat.
Untuk tahap tindakan dan diskusi, siswa diberi kesempatan yang sama untuk mencoba bermain peran dengan ekspresinya sendiri. Kegiatan diskusi dibimbing oleh guru untuk menumbuhkan pemahaman baru yang berguna untuk merespon situasi lain dalam kehidupan sehari-hari. Jadi pemahaman siswa mengenai peran yang dimainkan akan dihubungkan dengan situasi dalam kehidupan nyata. Tahap evaluasi, siswa diberi kesempatan untuk memberikan komentar, pendapat, atau masukan yang evaluatif tentang proses bermain peran yang telah dilaksanakan.
3. Tujuan Metode Role Playing
Oemar Hamalik (2001: 199) mengemukakan bahwa tujuan bermain peran, sesuai dengan jenis belajar adalah sebagai berikut:
a. Belajar dengan berbuat. Para siswa melakukan peranan tertentu sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Tujuannya adalah untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan interaktif atau keterampilan reaktif.
b. Belajar melalui peniruan (imitasi). Para siswa pengamat drama menyamakan diri dengan pelaku (aktor) dan tingkah laku mereka.
c. Belajar melalui balikan. Para pengamat mengomentari (menanggapi) perilaku pemain yang ditampilkan. Tujuannya adalah untuk mengembangkan prosedur-prosedur kognitif dan prinsip-prinsip yang mendasari perilaku keterampilan yang telah didramasasikan.
d. Belajar melalui pengkajian, penilaian, dan pengulangan. Para peserta dapat memperbaiki keterampilan-keterampilan mereka dengan mengulanginya dalam penampilan berikutnya.
Pendapat dari Sudjana (2005: 134) menjelaskan bahwa dengan bermain peran diharapkan peserta didik memperoleh pengalaman yang diperankan oleh pihak-pihak lain. Teknik ini dapat digunakan pula untuk merangsang pendapat peserta didik dan menemukan kesepakatan bersama tentang ketepatan, kekurangan, dan pengembangan peran-peran yang dialami atau diamati. Sehubungan dengan hal itu tujuan penggunaan teknik ini antara lain adalah untuk mengenalkan peran-peran dalam dunia nyata kepada peserta didik.
Tujuan dari penggunaan metode role playing atau bermain peran adalah agar siswa mendapatkan pengalaman dan pengetahuan dari belajar dengan berbuat, belajar melalui peniruan, balikan dan pengulangan. Penggunaan metode role playing memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan sendiri kegiatan belajar baik fisik maupun psikis guna memperoleh pengetahuan dan pemahaman. Siswa tidak hanya mendapatkan pengalaman dan pengetahuan dari guru atau buku paket, tetapi belajar melalui proses yang dilakukan setiap siswa baik secara individu maupun kelompok.
Siswa mampu belajar mengekspresikan pendapatnya, belajar memahami perilaku orang lain, dan belajar memahami nilai-nilai dalam suatu hubungan sosial. Selain untuk membentuk pengalaman belajar siswa, metode role playing mampu mengenalkan siswa kepada peran-peran yang ada di masyarakat.
4. Kelebihan Metode Role Playing
Oemar Hamalik (2001: 214) mengemukakan pada waktu dilaksanakannya bermain peran, siswa dapat bertindak dan mengekspresikan perasaan dan pendapatnya tanpa kekhawatiran mendapat sanksi. Bermain peran memungkinkan para siswa mengidentifikasi situasi-situasi dunia nyata dan dengan ide-ide orang lain.
Roestiyah (1998: 93) menguraikan bahwa keunggulan dari bermain peran adalah:
“Dengan teknik ini, siswa lebih tertarik perhatiannya pada pelajaran, karena masalah-masalah sosial sangat berguna bagi mereka. Karena mereka bermain peranan sendiri, maka mudah memahami masalah- masalah sosial itu. Bagi siswa dengan berperan seperti orang lain, maka dapat menempatkan diri seperti watak orang lain itu. Ia dapat merasakan perasaan orang lain, dapat mengakui pendapat orang lain, sehingga menumbuhkan sikap saling pengertian, tenggang rasa, toleransi dan cinta kasih terhadap sesama makhluk, akhirnya siswa dapat berperan dan menimbulkan diskusi yang hidup, karena merasa menghayati sendiri permasalahannya. Juga penonton tidak pasif, tetapi aktif mengamati dan mengajukan saran dan kritik.”
Berdasarkan pendapat Sudjana (2005: 136) keunggulan metode role playing adalah sebagai berikut:
a. Peran yang ditampilkan peserta didik dengan menarik akan segera mendapat perhatian dari peserta didik lainnya.
b. Teknik ini dapat digunakan baik dalam kelompok besar maupun kelompok kecil.
c. Dapat membantu peserta didik untuk memahami pengalaman orang lain yang melakukan peran.
d. Dapat membantu peserta didik untuk menganalisis dan memahami situasi serta memikirkan masalah yang terjadi dalam bermain peran.
e. Menumbuhkan rasa kemampuan dan kepercayaan diri peserta didik untuk berperan dalam menghadapi masalah.
Kelebihan dari metode bermain peran dapat membantu siswa untuk mengubah perilakunya dan sikap ketika berinteraksi dengan orang lain, hal ini dikarenakan dalam bermain peran siswa akan tergabung dalam suatu kelompok sosial dengan siswa yang lainnya. Pada waktu bermain peran siswa dapat mengungkapkan pendapatnya, siswa akan lebih berani untuk menanggapi atau memberi masukan kepada siswa lainnya, siswa lebih berani untuk saling berbagi pengalaman, siswa dapat saling bekerja sama untuk mengatasi masalah dan menemukan solusinya dan siswa dapat memperoleh pengetahuan yang lebih bermakna. Dan secara tidak langsung partisipasi belajar siswa juga dapat meningkat. Sifat mau bekerja sama antar siswa lainnya dapat ditumbuhkan dan dibina dengan sebaik-baiknya, murid memperoleh kebiasaan untuk menerima dan membagi tanggung jawab dengan sesamanya, siswa dapat mengembangkan hubungan interpersonal dengan siswa lainnya dan siswa dapat mengembangkan kemampuan berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis.
C. Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
1. Pengertian IPS
Istilah “Ilmu Pengetahuan Sosial”, disingkat IPS menurut Marsh & Martorella (Etin Solihatin & Raharjo, 2009: 14) merupakan nama mata pelajaran di tingkat sekolah dasar dan menengah atau nama program studi di perguruan tinggi yang identik dengan istilah “social studies” dalam kurikulum persekolahan di negara lain, khususnya di negara-negara barat seperti Australia dan Amerika Serikat.
Berdasarkan pendapat Trianto (2010: 171) ilmu pengetahuan sosial merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum dan budaya. Ilmu Pengetahuan Sosial dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan satu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabang-cabang ilmu sosial.
Pendapat Kosasih seperti yang dikutip Trianto (2010: 173) menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan sosial juga membahas hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Lingkungan dimana anak didik tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari masyarakat, dihadapkan pada berbagai permasalahan yang ada dan terjadi di lingkungan sekitarnya.
Dari berbagai pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan sosial merupakan integrasi dari berbagai macam ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum dan budaya yang diwujudkan dalam satu pendekatan interdisipliner. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) lebih mengkaji hubungan manusia yang bersifat sosial kemasyarakatan.
2. Dimensi IPS
Dimensi dalam IPS dapat digunakan sebagai sumber atau dasar dalam pengorganisasian materi yang akan diajarkan oleh guru kepada peserta didik. Berikut akan diuraikan dimensi-dimensi yang terdapat dalam pembelajaran IPS adalah sebagai berikut:
a. Dimensi pengetahuan (knowledge)
Setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya. Secara konseptual, pengetahuan (knowledge) hendaknya mencakup fakta, konsep, dan generalisasi yang dipahami oleh siswa (Sapriya, 2009: 49).
b. Dimensi keterampilan (skills)
Dalam pembelajaran IPS selain bekal pengetahuan yang diberikan kepada siswa, guru juga perlu membekali siswa dengan keterampilan (skills). Keterampilan dapat digunakan untuk mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang mampu berpartisipasi secara cerdas dalam masyarakat demokratis. Menurut Sapriya (2009: 52–53) sejumlah keterampilan yang diperlukan sehingga menjadi unsur dalam dimensi IPS dalam proses pembelajaran.
1) Keterampilan meneliti
Keterampilan ini diperlukan untuk mengumpulkan dan mengolah data. Namun, secara umum penelitian mencakup sejumlah aktivitas sebagai berikut mengidentifikasi dan mengungkapkan masalah atau isi, mengumpulkan dan mengolah data, menafsirkan data, menganalisis data, menilai bukti-bukti yang ditemukan, menyimpulkan, menerapkan hasil temuan dalam konteks yang berbeda, dan membuat pertimbangan nilai.
2) Keterampilan berpikir
Beberapa keterampilan berpikir yang perlu dikembangkan oleh guru di kelas untuk para siswa meliputi mengkaji dan menilai data secara kritis, merencanakan, merumuskan faktor sebab dan akibat, memperediksi hasil dari sesuatu kegiatan atau peristiwa, menyarankan apa yang akan ditimbulkan dari suatu peristiwa atau perbuatan, curah pendapat (brainstroming), berspekulasi tentang masa depan, menyarankan berbagai solusi alternatif, dan mengajukan pendapat dari perspektif yang berbeda.
3) Keterampilan partisipasi social
Beberapa keterampilan partisipasi sosial yang perlu dibelajarkan oleh guru meliputi mengidentifikasi akibat dari perbuatan dan pengaruh ucapan terhadap orang lain, menunjukkan rasa hormat dan perhatian kepada orang lain, berbagi tugas dan pekerjaan dengan orang lain, berbuat efektif sebagai anggota kelompok, mengambil berbagai peran kelompok, menerima kritik dan saran, dan menyesuaiakan kemampuan dengan tugas yang harus diselesaikan.
4) Keterampilan berkomunikasi
Pembelajaran merupakan upaya untuk mendewasakan seorang anak manusia. Salah satu ciri seorang yang dewasa adalah mereka yang mampu berkomunikasi dengan orang lain dengan baik.
c. Dimensi nilai dan sikap (value and attitudes)
Pada hakikatnya, nilai merupakan sesuatu yang berharga. Nilai yang dimaksud disini adalah seperangkat keyakinan atau prinsip perilaku yang telah mempribadi dalam diri seseorang atau kelompok masyarakat tertentu yang terungkap ketika berpikir dan bertindak (Sapriya, 2009: 53).
Nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dapat dipelajari dari hubungan sosial antar anggota masyarakat. Oleh karena itu, melalui pembelajaran IPS diharapkan dapat memperkenalkan dan menginternalisasi berbagai nilai kepada peserta didik. Proses internalisasi nilai tidaklah harus berdiri sendiri, tetapi bisa dintegrasikan dalam proses pembelajaran, salah satunya dalam pembelajaran IPS.
d. Dimensi tindakan (action)
Tindakan sosial merupakan dimensi yang penting karena tindakan dapat memungkinkan siswa menjadi peserta didik yang aktif. Mereka pun dapat belajar berlatih secara konkret dan praktis. Dengan belajar dari apa yang diketahui dan terpikirkan tentang isu-isu sosial untuk dipecahkan sehingga jelas apa yang akan dilakukan dan bagaimana caranya, para siswa belajar menjadi warga negara yang efektif di masyarakat (Sapriya, 2009: 56).
Penguasaan dan pengembangan dimensi dalam pembelajaran IPS penting bagi peserta didik karena pengetahuan yang didapat siswa dapat menjadi bekal guna menjalani kehidupan nyata di sosial masyarakat. Dimensi pengetahuan dapat menambah pengetahuan dan wawasan siswa, dimensi keterampilan dapat memberikan berbagai keterampilan yang dibutuhkan saat ikut serta berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat yang demokratis, dimensi sikap dan nilai dapat memberikan bekal tatanan bagi kehidupan sehari-hari, nilai yang telah terinternalisasi dalam diri peserta didik dapat dijadikan sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat.
3. Substansi Materi Pembelajaran IPS
Dalam proses pembelajaran tugas guru antara lain adalah mengelola bahan ajar yang hendak disampaikan kepada siswa saat proses pembelajaran. Menurut Trianto (2010: 188) bahan ajar adalah bahan atau material atau sumber belajar yang mengandung substansi kemampuan tertentu yang akan dicapai oleh siswa.
Adapun substansi materi dalam pembelajaran IPS menurut Abdul Gafur & Dikmenum dalam Trianto (2010: 188) terdiri atas fakta, konsep, prinsip, prosedur dan nilai.
a. Fakta
Trianto (2010: 188) materi pembelajaran termasuk kategori fakta jika menunjukkan suatu nama, objek, atau peristiwa yang terjadi secara nyata pada suatu daerah atau tempat tertentu. Jadi fakta adalah data yang spesifik tentang peristiwa, objek, orang, dan peristiwa yang terjadi secara nyata dalam kehidupan.
Dalam pembelajaran IPS, guru harus berupaya untuk menyampaikan fakta sesuai dengan usia dan tingkat berpikir masing-masing peserta didik. Secara umum, fakta untuk siswa SD kelas rendah hendaknya berupa peristiwa, objek, dan hal-hal yang bersifat konkret, sedangkan untuk anak usia SD kelas tinggi guru sudah bisa menyampaikan fakta secara abstrak. Oleh karena itu, guru perlu memperhatikan karakteristik dan perbedaan individual masing-masing siswa dalam proses pembelajaran.
b. Konsep
Konsep adalah materi pembelajaran dalam bentuk definisi atau batasan atau pengertian dari suatu objek, baik yang bersifat abstrak maupun konkret (Trianto, 2010: 189). Contoh materi yang berupa konsep dalam pembelajaran IPS misalnya apa itu hukum? Jelaskan ciri-ciri hukum? dan sebagainya.
Dalam mempelajari konsep para siswa memerlukan pemahaman yang utuh dan mendalam untuk bisa memahami konsep dengan benar. Bila dalam proses pembelajaran siswa kurang memahami materi dalam bentuk konsep maka akan terjadi misskonsep atau salah konsep. Oleh karena itu guru perlu memiliki suatu cara yang efektif agar siswa dapat dengan mudah mempelajari materi-materi dalam bentuk konsep.
c. Prinsip
Prinsip adalah dasar atau asas yang menunjukkan hubungan antar berbagai konsep yang telah teruji kebenarannya sehingga berlaku di mana saja dan kapan saja (Trianto, 2010: 189). Hubungan antar konsep memiliki sifat materi yang disebut generalisasi. Contoh prinsip dalam pembelajaran IPS adalah asas kewarganegaraan, asas hubungan internasional, perjanjian bilateral, dan lain sebagainya.
d. Prosedur
Prosedur adalah tahapan atau langkah-langkah untuk meyelesaikan kegiatan atau aktivitas tertentu atau secara singkat sering disebut tatacara (Trainto, 2010: 189). Materi dalam bentuk prosedur menuntut peserta didik untuk mengerjakan sesuai dengan langkah-langkah atau urutan tertentu.
Materi dalam bentuk prosedur dapat digunakan untuk mengembangkan partisipasi siswa dalam pembelajaran di kelas. Contoh prosedur dalam pembelajaran IPS adalah urutan Pemilu, cara menetapkan ketua, prosedur peradilan HAM dan lain sebagainya.
e. Nilai
Menurut penjelasan Trianto (2010: 190), secara harfiah nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang berguna (usefull) atau berharga. Dalam konteks sosiokultural, nilai diartikan sebagai sesuatu yang diyakini kebenarannya dan berguna bagi kehidupan masyarakat dan manusia pada umumnya.
Nilai merupakan suatu yang diyakini oleh masyarakat yang dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan sikap dan perbuatan manusia dalam kehidupan. Contoh nilai yang dikembangkan dalam pembelajaran IPS adalah tanggung jawab, jujur, tolong menolong, kerja keras, disiplin, menghargai perbedaan dan lain sebagainya.
Jadi substansi materi dalam pembelajaran IPS yang harus diberikan kepada peserta didik meliputi fakta, konsep, prinsip, prosedur, dan nilai. Fakta merupakan data mengenai suatu fenomena yang benar-benar nyata terjadi dalam kehidupan, konsep adalah kumpulan dari beberapa fakta yang membentuk suatu definisi baik secara konkrit maupun abstrak. Prinsip merupakan dasar atau asas yang terjalin dari beberapa konsep, prosedur adalah langka-langkah dalam menyelesaikan suatu kegiatan, dan nilai merupakan sesuatu yang dijadikan pedoman masyarakat untuk bertindak dan berperilaku.
Dengan demikian pembelajaran IPS dapat digunakan sebagai sarana internalisasi nilai bagi peserta didik. Nilai tersebut dapat digunakan untuk membentuk manusia yang memiliki akhlak mulia, berkepribadian baik, mandiri, cakap, dan kreatif sesuai dengan tujuan pendidikan kita. Berdasar hal di atas maka guru perlu memiliki metode pembelajaran yang sesuai untuk mengajarkan kelima sustansi materi dalam IPS tersebut secara komprehensif. Metode pembelajaran harus berkenaan dengan kegiatan yang nyata dan praktis agar penyampaian materi dalam IPS yang bisa memberikan pengalaman belajar bagi siswa.
4. Tujuan Pembelajaran IPS
Tujuan utama IPS menurut Gross dalam Trianto (2010: 174) ialah “to prepare students to be well functioning citizens in a democratic society”. Artinya ialah untuk mempersiapkan mahasiswa menjadi warga negara yang baik dalam kehidupannya di masyarakat.
Trianto (2010: 176) menjelaskan bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan sosial ialah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari, baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat.
Pada dasarnya tujuan pendidikan IPS adalah untuk mendidik dan memberi bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan diri sesuai bakat, minat, kemampuan, dan lingkungannya, serta berbagai bekal siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Etin Solihatin & Raharjo,2009: 15).
Mengutip pendapat dari Sapriya (2009: 194–195) tujuan mata pelajaran IPS untuk jenjang SD/MI sebagai berikut:
a. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.
b. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial.
c. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial.
d. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
Dari beberapa pengertian diatas dapat dijelaskan bahwa tujuan pembelajaran IPS adalah untuk mendidik dam mengembangkan segala potensi dan kemampuan peserta didik agar memiliki kemampuan dasar yang berguna bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu pembelajaran IPS tidak hanya sekedar menghafal saja, tetapi bagaimana membekali siswa dengan kemampuan yang diperlukan dalam kehidupan sosial masyarakat. Melalui pembelajaran IPS, siswa diharapkan dapat memahami lingkungan dimana ia menjadi bagian dari masyarakat, dapat belajar tentang nilai-nilai yang ada di masyarakat, dan mampu berpartisipasi dalam masyarakat demokratis.
Berdasarkan hal di atas maka dibutukan suatu pola pembelajaran yang mampu menjembatani tercapainya tujuan tersebut. Kosasih dalam Etin Solihatin & Suharjo (2009: 15) mengemukakan bahwa kemampuan dan keterampilan guru dalam memilih dan menggunakan berbagai model, metode dan strategi pembelajaran senatiasa terus ditingkatkan, agar pembelajaran IPS benar-benar mampu mengkondisikan upaya pembekalan kemampuan dan keterampilan dasar bagi siswa untuk menjadi manusia dan warga negara yang baik.
Hal ini juga didasari bahwa pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang mampu mengembangkan potensi peserta didik, sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya. Belajar IPS hendaknya dapat memberdayakan dan mengembangkan segala potensi dan kemampuan siswa, baik dari segi pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), maupun keterampilan (skills). Dengan mengembangkan bekal pengetahuan siswa dapat peka terhadap perkembangan jaman yang semakin maju, siswa memiliki sikap yang baik dalam menanggapi segala permasalahan yang terjadi di masyarakat, dan dengan pengembangan keterampilan siswa memiliki kompetensi yang dibutuhkan dalam masyarakat luas. Semua potensi yang dimiliki peserta didik ini dapat diwujudkan dalam proses pembelajaran IPS melalui keterlibatan siswa di dalam proses belajar. Dimana pembelajaran dalam IPS lebih berkaitan dengan kehidupan sesama manusia, manusia dengan lingkungannya dan sosial budaya.
D. Kerangka Pikir
Penggunaan metode pembelajaran role playing merupakan salah satu cara untuk mengikutsertakan siswa agar berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Dalam metode pembelajaran role playing ini, siswa dituntut untuk memerankan peran tertentu sehingga siswa tidak hanya pasif di dalam kelas. Interaksi antar siswa dengan siswa yang lain di dalam proses pembelajaran merupakan salah satu ciri dari metode role playing. Melalui metode role playing, siswa akan ikut berpartisipasi mulai dari proses awal pembelajaran sampai evaluasi di akhir pembelajaran.
Pembelajaran IPS dengan menggunakan metode role playing dapat memberikan peluang kepada semua siswa tanpa terkecuali untuk ambil bagian dalam proses pembelajaran. Melalui metode role playing ini siswa belajar melalui proses mengalami, berbuat dan mereaksi sehingga siswa tidak hanya menjadi pendengar di dalam kelas. Metode ini menuntut partisipasi belajar dari semua siswa agar pembelajaran yang didapan lebih bermakna dan siswa dapat menemukan pengalaman dalam belajar.
Metode ini sesuai digunakan dalam pembelajaran IPS karena IPS ditingkat sekolah pada dasarnya bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik sebagai warga negara yang menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sikap dan nilai (attitudes and values) yang dapat digunakan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah pribadi atau masalah sosial serta kemampuan mengambil keputusan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan dalam masyarakat sehingga menjadi warga yang baik.
Mata pelajaran IPS diharapkan dapat membekali siswa dengan berbagai kemampuan dasar yang diperlukan siswa dalam menjalani kehidupan mereka kelak. Guru sebagai salah satu tulang punggung keberhasilan pembelajaran di sekolah untuk menghasilkan output yang memadai dan memenuhi kriteria tentunya harus memiliki daya dan upaya untuk memilih metode, strategi dan pendekatan belajar agar bisa mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik.
Oleh karena itu penggunaan metode ini dapat digunakan sebagai usaha perbaikan atau sebuah tindakan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih memiliki partisipasi belajar dalam pembelajaran IPS. Sehingga siswa dimungkinkan dapat berpartisipasi aktif dalam mendiskusikan dan memilih cara atau strategi untuk menyelesaikan permasalahan, bekerja secara bebas dengan teman yang lain, bertanya kepada guru untuk bila menemui kesulitan, dan berbagai aktivitas lainnya.
E. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kerangka berfikir tersebut diatas dapat diajukan hipotesis tindakan sebagai berikut:
“Menggunakan metode role playing dapat meningkatkan partisipasi belajar pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di kelas V SD Negeri 04 Salo.”
F. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional variabel merupakan suatu definisi singkat dari variabel penelitian yang dapat dioperasionalkan atau dapat menjadi arahan untuk pelaksanaan didalam penelitian. Maka definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah:
1. Partisipasi belajar siswa
Partisipasi belajar siswa adalah peran serta atau keterlibatan seorang siswa atau semua siswa dalam kegiatan pembelajaran. Wujud dari adanya partisipasi belajar siswa dalam pembelajaran dapat dilihat dari aktivitas siswa ketika mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan, menyelesaikan tugas secara tuntas, ikut serta berdiskusi, mencatat penjelasan guru, menyelesaikan soal di papan tulis, mengerjakan tes secara individu, dan meyimpulkan pelajaran.
2. Metode role playing
Metode role playing merupakan kegiatan belajar dimana siswa belajar cara penguasaan materi melalui memainkan peran-peran yang nyata dalam kehidupan secara berkelompok. Siswa dikenalkan pada situasi atau peranan tertentu dalam kehidupan, kemudian siswa membentuk kelompok partisipan, siswa bersama guru saling mengatur skenario bermain peran. Selanjutnya sebagian siswa bertugas sebagai pengamat untuk mengamati proses bermain peran yang dilakukan temannya. Selanjutnya siswa saling berdikusi dan mengevaluasi dengan konsep peranan dalam kehidupan nyata, dan saling berbagi pengalaman untuk mendapatkan kesimpulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar