Kamis, 03 November 2022

Makalah Realistic Mathematics Education (RME)

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.           Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang mutlak bagi manusia agar dapat membangun peradaban bangsanya. Dalam pendidikan itu, manusia diajarkan dengan berbagai disiplin ilmu sebagai salah satu disiplin ilmu yang diajarkan diberbagai jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi adalah matematika.

Salah satu karakteristik matematika adalah mempunyai objek yang bersifat abstrak. Sifat abstrak ini menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam memahami matematika. Selain itu, belajar matematika siswa belum bermakna, sehingga dalam hal ini siswa sangat lemah.

Jennings dan Dunne (Suharta, 2004) mengatakan bahwa, kebanyakan siswa rnengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan real. Hal ini yang menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah karena pembelajaran matematika kurang bermakna.

Kondisi pembelajaran yang kurang bermakna dialami oleh sekolah-sekolah baik pendidikan dasar maupun pendidikan menengah. Salah satu asumsi dibalik kurang memuaskannya kualitas proses pembelajaran matematika adalah disebabkan metode, strategi dan pendekatan yang digunakan oleh pendidik kurang efektif dalam proses pembelajaran strategi pembelajaran yang diterapkan oleh guru-guru masih menggunakan pendekatan tradisional atau mekanistik dimana siswa secara pasif menerima konsep, rumus dan kaidah (mernbaca, mendengarkan, mencatat, menghafal) tanpa memberikan kontribusi ide-ide dalam proses pernbelajaran

Oleh karena itu, perlu adanya inovasi dalam pembelajaran matematika yakni perubahan dalam strategi pembelajaran termasuk pendekatan pembelajaran.

 

B.            Rumusan Masalah

1.             Apa yang dimaksud RME?

2.             Ada berapa tipe matematisasi dalam RME?

3.             Apa saja prinsip dan karakteristik RME?

4.             Apa saja ciri-ciri RME?

5.             Bagaimana langkah-langkah penerapan RME?

6.             Apa saja manfaat RME?

7.             Apa saja kelebihan dan kekurangan RME?

8.             Bagaimana penerapan model RME di kelas?

 

 

C.           Tujuan

1.             Mengetahui pendekatan Realistic Mathemtics Education (RME)

2.             Mengetahui macam-macam tipe matematisasi dalam RME

3.             Mengetahui prinsip dan karakteristik RME

4.             Mengetahui cirri-ciri RME

5.             Mengetahui langkah-langkah penerapan RME

6.             Mengetahui manfaat RME

7.             Mengetahui kelebihan dan kekurangan RME

8.             Mengetahui penerapan model RME di kelas

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.           Pengertian Realistic Mathematics Education (RME)

Kata “realistik” merujuk pada pendekatan dalam pendidikan matematika yang telah dikembangkan di Belanda selama kurang lebih 30 tahun. Pendekatan ini mengacu pada pendapat Freudenthal  (dalam Gravemeijer, 1994) yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan kegiatan manusia. Pendekatan ini kemudian dikenal dengan Realistic Mathematics Education (RME).

Realistic Mathematics Education (RME) atau Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika. Teori RME ini mengacu fakta pendapat freundenthal (Asmin, 2001) yang juga mengatakan bahwa "matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari".

Soedjadi (2001: 2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika realistik pada dasarnya pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik dari pada masa lalu. Lebih lanjut Soedjadi menjelaskan yang dimaksud dengan realitas yaitu hal-hal nyata atau konkrit yang dapat dipahami atau diamati peserta didik lewat membayangkan, sedang yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik. Lingkungan ini juga disebut juga kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran matematika realistik adalah atau Realistic Mathematics Education (RME) adalah sebuah pendekatan pembelajaran matematika yang dikembangkan Hans Freudenthal di Belanda. Gravemeijer (1994: 82) dimana menjelaskan bahwa yang dapat digolongkan sebagai aktivitas tersebut meliputi aktivitas pemecahan masalah, mencari masalah dan mengorganisasi pokok persoalan. Matematika realistik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menemaptkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal.

Karakteristik RME menggunakan: konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan kontruksi siswa, interaktif dan keterkaitan. Pembelajaran matematika realistik diawali dengan masalah-masalah yang nyata, sehingga siswa dapat menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Dengan pembelajaran matematika realistik siswa dapat mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa juga dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dan dunia nyata.

 

B.            Tipe Matematisasi dalam Realistic Mathematic Education (RME)

Menurut Treffers dan Goffree (2003) terdapat dua tipe matematisasi yang dikenal dalam Realistic Mathematic Education (RME) yaitu:

1.             Matematisasi horizontal

Proses matematika horizontal pada tahapan menengah persoalan sehari-hari menjadi persoalan matematika sehingga dapat diselesaikan atau situasi nyata diubah ke dalam simbol-simbol dan model-model matematika.

2.             Matematisasi vertical

Proses matematika pada tahap penggunaan simbol, lambang kaidah-kaidah matematika yang berlaku secara umum.

 

C.           Prinsip dan Karakteristik Realistic Mathematics Education (RME)

Esensi lain pembelajaran matematika realistik adalah tiga prinsip kunci yang dapat dijadikan dasar dalam merancang pembelajaran. Gravemeijer (1994: 90) menyebutkan tiga prinsip tersebut, yaitu:

 

1.             Guided reinvention and progressive mathematizing

Menurut Gravemijer (1994: 90), berdasar prinsip reinvention, para siswa semestinya diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses saat matematika ditemukan. Sejarah matematika dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam merancang materi pelajaran. Selain itu prinsip reinvention dapat pula dikembangkan berdasar prosedur penyelesaian informal. Dalam hal ini strategi informal dapat dipahami untuk mengantisipasi prosedur penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut maka perlu ditemukan masalah kontekstual yang dapat menyediakan beragam prosedur penyelesaian serta mengindikasikan rute pembelajaran yang berangkat dari tingkat belajar matematika secara nyata ke tingkat belajar matematika secara formal (progressive mathematizing).

2.             Didactical phenomenology

Gravemeijer (1994: 90) menyatakan, berdasar prinsip ini penyajian topik-topik matematika yang termuat dalam pembelajaran matematika realistik disajikan atas dua pertimbangan yaitu:

a.             Memunculkan ragam aplikasi yang harus diantisipasi dalam proses pembelajaran.

b.             Kesesuaiannya sebagai hal yang berpengaruh dalam proses progressive mathematizing.

3.             Self-developed models

Gravemeijer (1994: 91) menjelaskan, berdasar prinsip ini saat mengerjakan masalah kontekstual siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri yang berfungsi untuk menjembatani jurang antara pengetahuan informal dan matematika formal. Pada tahap awal siswa mengembangkan model yang diakrabinya. Selanjutnya melalui generalisasi dan pemformalan akhirnya model tersebut menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh ada (entity) yang dimiliki siswa.

Untuk kepentingan di tingkat operasional, tiga prinsip di atas selanjutnya dijabarkan menjadi lima karakteristik pembelajaran matematika. Menurut Soedjadi (2001: 3) pembelajaran matematika realistik mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut:

1.             The use of context (menggunakan konteks), artinya dalam pembelajaran matematika realistik lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar yang kontekstual bagi siswa.

2.             Use models, bridging by vertical instrument (menggunakan model), artinya permasalahan atau ide dalam matematika dapat dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi nyata maupun model yang mengarah ke tingkat abstrak.

3.             Students constribution (menggunakan kontribusi siswa), artinya pemecahan masalah atau penemuan konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa.

4.             Interactivity (interaktif), artinya aktivitas proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan sebagainya.

5.             Intertwining (terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya), artinya topik-topik yang berbeda dapat diintegrasikan sehingga dapat memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak.

 

D.           Ciri – Ciri Realistic Mathematic Education (RME)

Fauzan (2001:2) mengemukakan bahwa pembelajaran yang menggunakan RME memiliki beberapa ciri, yaitu:

1.             Matematika dipandang sebagai kegiatan manusia sehari-hari, sehingga memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari (contextual problem) merupakan bagian yang esensial.

2.             Belajar matematika berarti bekerja dengan matematika (doing mathematics).

3.             Siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep-konsep matematika di bawah bimbingan orang dewasa (guru).

4.             Proses belajar mengajar berlangsung secara interaktif dan siswa menjadi fokus dari semua aktivitas di kelas.

5.             Aktivitas yang dilakukan meliputi: menemukan masalah-masalah kontekstual (looking for problems), memecahkan masalah (solving problems), dan mengorganisir bahan ajar (organizing a subject matter).

 

E.            Tahap Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME)

Berdasarkan prinsip dan karakteristik RME serta memperhatikan berbagai pendapat tentang proses pembelajaran matematika dengan pendekatan RME di atas, maka disusun langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan RME sebagai berikut :

Langkah 1. Memahami masalah kontekstual

Guru memberikan masalah kontekstual sesuai dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari siswa. Kemudian meminta siswa untuk memahami masalah yang diberikan tersebut. Jika terdapat hal-hal yang kurang dipahami oleh siswa, guru memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian yang belum dipahami siswa.

Karakteristik RME yang muncul pada langkah ini adalah karakteristik pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai titik tolak dalam pembelajaran dan karakteristik keempat yaitu interaksi.

Langkah 2. Menyelesaikan masalah kontekstual

Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek matematika yang ada pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi pemecahan masalah, selanjutnya siswa bekerja menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian siswa yang satu dengan yang lainnya. Guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan terbatas, sehingga siswa dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut.

Karakteristik RME yang muncul pada langkah ini yaitu karakteristik kedua mernggunakan model.

Langkah 3. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban.

Guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka secara berkelompok, selanjutnya membandingkan dan mendiskusikan pada diskusi kelas. Pada tahap ini, dapat digunakan siswa untuk berani mengemukakan pendapatnya meskipun pendapat tersebut berbeda dengan lainya.

Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah karakteristik ketiga yaitu menggunakan kontribusi siswa  (students constribution) dan karakteristik keempat yaitu terdapat interaksi  (interactivity) antara siswa dengan siswa yang lain.

Langkah 4. Menyimpulkan.

Berdasarkan hasil diskusi kelas, guru memberi kesempatan pada siswa untuk menarik kesimpulan suatu konsep atau prosedur yang terkait dengan masalah realistik yang diselesaikan.

F.            Manfaat  Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME)

Pembelajaran  dengan menggunakan pendekatan realistic mathematic education (RME) diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri.  Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah  sehari-hari atau dalam bidang lain.

Adapun manfaat dari pembelajaraan RME adalah:

a.              Untuk Siswa

1)            Siswa lebih mudah menyelesaikan masalah dikaitkan dengan masalah-masalah dalam kehidupan nyata.

2)            Siswa dapat menyelesaikan secara informal sebelum menggunakan secara formal sehingga mendorong siswa untuk belajar di dalam kehidupan nyata.

3)            Siswa dapat mengkonstruk pengetahuannya sendiri dan lebih aktif.

b.             Untuk Guru

1)                 Membantu Guru dalam pemahaman masalah.

2)                 Guru dapat mengetahui seberapa jauh pemahaman siswa terhadap konsep masalah yang ada.

3)                 Guru dapat mengaitkan topik dengan masalah kehidupan sehari-hari.

4)                 Guru hanya sebagai fasilitator belajar dan mampu membangun pengajaran yang interaktif.

 

G.           Kelebihan dan Kekurangan Realistic Mathematic Education (RME)

1.             Kelebihan

Menurut suwarsono (2001: 5) terdapat kekuatan atau kelebihan dari pembelajaran matematika realistik, yaitu:

a.             Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi manusia.

b.             Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.

c.             Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu dengan yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian masalah tersebut.

d.            Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan suatu yang utama dan orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang sudah tahu ( misalnya guru ). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.

2.             Kekurangan

a.             Adanya persyaratan-persyaratan tertentu agar  kelebihan RME dapat muncul justru menimbulkan kesulitan tersendiri dalam menerapkannya. Kesulitan-kesulitan tersebut, yaitu:

b.             Tidak mudah untuk merubah pandangan yang berdasar tentang berbagai hal, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal atau masalah kontekstual, sedang perubahan itu merupakan syarat untuk dapat diterapkannya RME.

c.             Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam pembelajaran matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermaca-macam cara.

d.            Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.

e.             Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan penemuan kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.

H.           Penerapan Model RME di Kelas

Untuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran matematika realistik, misalnya diberikan contoh tentang pembelajaran pecahan di sekolah dasar (SD). Sebelum mengenalkan pecahan kepada siswa sebaiknya pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian menjadi bilangan yang sama misalnya pembagian kue, supaya siswa memahami pembagian dalam bentuk yang sederhana dan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga siswa benar-benar memahami pembagian setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru diperkenalkan istilah pecahan. Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran bukan matematika realistik dimana siswa sejak awal dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.

Pembelajaran matematika realistik diawali dengan dunia nyata, agar dapat memudahkan siswa dalam belajar matematika, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain.

1.             Model Pembelajaran  Contextual Teaching Learning (CTL)

Pembelajaran kontekstual adalah terjemahan dari istilah Contextual Teaching Learning (CTL). Kata contextual berasal dari kata contex yang berarti “hubungan, konteks, suasana, atau keadaan”. Dengan demikian contextual diartikan ”yang berhubungan dengan suasana (konteks). Sehingga Contextual Teaching Learning (CTL) dapat diartikan sebagi suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana tertentu.

Pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi disekelilingnya.

Pengajaran  kontekstual sendiri pertama kali dikembangkan di  Amerika Serikat yang diawali dengan dibentuknya Washington State Consortum for Contextual oleh Departemen Pendidikan Amerika Serikat. Antara tahun 1997 sampai tahun 2001 sudah diselenggarakan tujuh proyek besar yang bertujuan untuk mengembangkan, menguji, serta melihat efektifitas penyelenggaraan pengajaran matematika secara kontekstual. Proyek tersebut melibatkan 11 perguruan tinggi, dan 18 sekolah dengan mengikutsertakan 85 orang guru dan profesor serta 75 orang guru yang sudah diberikan pembekalan sebelumnya.

Penyelenggaraan program ini berhasil dengan sangat baik untuk level perguruan tinggi sehingga hasilnya direkomendasikan  untuk  segera disebarluaskan pelaksanaannya. Untuk tingkat sekolah, pelaksanaan dari  program ini memperlihatkan suatu hasil yang signifikan, yakni meningkatkan ketertarikan siswa untuk belajar, dan meningkatkan  partisipasi aktif siswa secara keseluruhan.

Pembelajaran kontekstual berbeda dengan pembelajaran konvensional, Departemen Pendidikan Nasional (2002:5) mengemukakan perbedaan antara pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) dengan pembelajaran konvensional sebagai berikut:

 

CTL

Konvensional

Pemilihan informasi kebutuhan individu siswa;

Pemilihan informasi ditentukan oleh guru;

Cenderung mengintegrasikan  beberapa bidang (disiplin);

Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu;

Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa;

Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai pada saatnya diperlukan;

Menerapkan penilaian autentik melalui melalui penerapan praktis dalam pemecahan masalah;

Penilaian hasil belajar hanya melalui kegiatan akademik berupa ujian/ulang

 

2.             Karakteristik Pendekatan Contextual Teaching Learning (CTL)

Pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen  utama dari pembelajaran produktif yaitu : konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modelling), refleksi (Reflection) dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment) (Depdiknas, 2003:5).

a.             Konstruktivisme (Constructivism)

Setiap  individu  dapat  membuat  struktur  kognitif  atau mental berdasarkan pengalaman mereka maka setiap individu dapat membentuk konsep atau ide baru, ini dikatakan sebagai konstruktivisme (Ateec, 2000). Fungsi guru disini membantu membentuk konsep tersebut melalui metode penemuan (self-discovery), inquiri dan lain sebagainya, siswa berpartisipasi secara aktif dalam membentuk ide baru.

Menurut Piaget pendekatan konstruktivisme mengandung empat kegiatan inti, yaitu :

1)             Mengandung pengalaman nyata (Experience);

2)             Adanya interaksi sosial (Social interaction);

3)             Terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (Sense making);

4)             Lebih memperhatikan pengetahuan awal (Prior Knowledge).

Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas.

Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Berdasarkan pada pernyataan tersebut, pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan (Depdiknas, 2003:6).

Sejalan dengan pemikiran Piaget mengenai kontruksi pengetahuan dalam otak. Manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda. Setiap kotak itu akan diisi oleh pengalaman yang dimaknai berbeda-beda oleh setiap individu. Setiap pengalaman baru akan dihubungkan dengan kotak yang  sudah berisi pengalaman lama sehingga dapat dikembangkan. Struktur pengetahuan dalam otak manusia dikembangkan melalui dua cara yaitu asimilasi dan akomodasi.

b.            Bertanya (Questioning)

Bertanya  merupakan  strategi  utama  dalam  pembelajaran kontekstual. Kegiatan bertanya digunakan oleh guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa sedangkan bagi siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis  inquiry.  Dalam  sebuah  pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk :

1)             Menggali informasi, baik administratif maupun akademis;

2)             Mengecek pengetahuan awal siswa dan pemahaman siswa;

3)             Membangkitkan respon kepada siswa;

4)             Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa;

5)             Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru;

6)             Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa;

7)             Menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

 

 

 

c.             Menemukan (Inquiry)

Menemukan  merupakan  bagian  inti  dari  pembelajaran  berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri (Depdiknas, 2003). Menemukan atau inkuiri dapat diartikan juga sebagai proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu :

1)             Merumuskan masalah ;

2)             Mengajukan hipotesis;

3)             Mengumpulkan data;

4)             Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan;

5)             Membuat kesimpulan.

Melalui proses berpikir yang sistematis, diharapkan  siswa  memiliki sikap ilmiah, rasional, dan logis untuk pembentukan kreativitas siswa.

d.                 Masyarakat belajar (Learning Community)

Konsep  Learning Community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar itu diperoleh dari sharing antarsiswa, antarkelompok, dan antar yang sudah tahu dengan yang belum tahu tentang suatu materi. Setiap elemen masyarakat dapat juga berperan disini dengan berbagi pengalaman (Depdiknas, 2003).

e.             Pemodelan (Modeling)

Pemodelan dalam pembelajaran kontekstual merupakan sebuah keterampilan atau pengetahuan tertentu dan menggunakan model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu atau guru memberi contoh cara mengerjakan sesuau. Dalam arti  guru memberi model tentang “bagaimana cara belajar”. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukanlah satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa.

f.              Refleksi (Reflection)

Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru. Struktur pengetahun yang baru ini merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya.  Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahun yang baru diterima (Depdiknas, 2003).

Pada kegiatan pembelajaran, refleksi dilakukan oleh seorang guru pada akhir pembelajaran. Guru menyisakan waktu sejenak agar siswa dapat melakukan refleksi yang realisasinya dapat berupa :

1)             Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperoleh  pada pembelajaran yang baru saja dilakukan.;

2)             Catatan atau jurnal di buku siswa;

3)             Kesan dan saran mengenai pembelajaran yang telah dilakukan.

g.             Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)

Penilaian autentik merupakan proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa agar guru dapat memastikan apakah siswa telah mengalami proses belajar yang benar. Penilaian autentik menekankan pada proses pembelajaran sehingga data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran.

Karakteristik authentic assessment menurut Depdiknas (2003) di antaranya: dilaksanakan selama dan sesudah proses belajar berlangsung, bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif, yang  diukur keterampilan dan sikap dalam belajar bukan mengingat fakta, berkesinambungan, terintegrasi, dan dapat digunakan sebagai feedback. Authentic assessment biasanya berupa kegiatan yang dilaporkan, PR, kuis, karya siswa, prestasi atau penampilan siswa, demonstrasi, laporan, jurnal, hasil tes tulis dan karya tulis.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.           Kesimpulan

Pendekatan realistik adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang menerapkan agar pembelajaran bertitik tolak pada hal-hal yang nyata bagi siswa, menekankan keterampilan berdiskusi, dan berargumentasi dengan teman sekelas. Sehingga mereka dapat menemukan sendiri, dan pada akhirnya menggunakan matematika dalam menyelesaikan masalah baik secara individu maupun secara kelompok. Tidak ada satupun model pembelajaran yang diangap paling baik diantara model- model pembelajaran yang lain. Tiap model pembelajaran mempunyai karakteristik tertentu dengan segala kelebihan dan kelemahan masing- masing. Suatu model pembelajaran jika digunakan sesuai situasi dan kondisi pasti akan jadi model pembelajaran yang baik.

 

B.            Saran

Berdasarkan simpulan dari penulisan ini untuk mencapai kesuksesan dalam pembelajaran realistik penulis memberikan saran-saran sebagai berikut:

Diperlukan adanya kesadaran siswa dalam bertanggung jawab terhadap setiap pelajaran yang dipelajari disekolah. Diperlukan adanya kesadaran antara pengajar dengan siswa agar pembelajaran realistik dapat berjalan dengan baik. Setiap pengajar diharapkan menguasai bermacam-macam metode pembelajaran.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Asikin, M. (2001). “Realistic Mathematics Education (RME), Prospek dan Alternatif Pembelajarannya” : Semarang UNNES

Freudental, H. (1973). Mathematics as an Educational Task. Dordrecht: Reidel Publising.

Hadi, Sutarto. (2005). Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin: Tulip.

Krisna Fara , (2017). Realistic Mathematics Education (RME). (Online]. Tersedia: http://krisnafara.blogspot.com/2017/02/realistic-mathematics-education-rme.html. [diakses 23 Februari 2017].

Suharta, I Gusti Putu. (2001). Pembelajaran Pecahan Dalam Matematika Realistik, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Realistic Mathematics Education (RME). Surabaya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jurnal Refleksi Dwimingguan Modul 1.1 Filosofi Pemikiran Ki Hajar Dewantara

Secara umum, jurnal adalah sebuah tulisan yang dibuat oleh orang-orang yang ahli dalam suatu bidang. Sementara itu, Dalam Kamus Besar Baha...