Kamis, 03 November 2022

MAKALAH “ PENINGKATAN AKSES, PENINGKATAN MUTU, DAN PEMERATAAN PENDIDIKAN (APK,APM) ”

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

A.           Latar Belakang Masalah

Era global ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan industri, kompetisi dalam semua aspek kehidupan ekonomi, serta perubahan kebutuhan yang cepat didorong oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Untuk memenuhi perkembangan ilmu dan teknologi, diperlukan SDM yang berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia perlu ditingkatkan hingga ke pelosok negeri dan bagi masyarakat menengah ke bawah. Mereka yang paling memerlukan layanan pendidikan dalam mengantisipasi persaingan global di samping penyandang buta huruf adalah masyarakat miskin di tempat-tempat yang jauh dan tersebar.

Pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan sangat penting karena perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Karena itu, Pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, yang mewajibkan Pemerintah bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum. Kurang meratanya pendidikan di Indonesia menjadi suatu masalah klasik yang hingga kini belum ada langkah langkah strategis dari pemerintah untuk menanganinya.

 

 

 

 

 

 

B.            Rumusan Masalah

1.             Bagaimana kondisi pemerataan pendidikan di indonesia?

2.             Bagaimana percepatan akses pendidikan yang merata dan berkualitas?

3.             Bagaimana peningkatan mutu pendidikan?

4.             Bagaimana upaya pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan di indonesia?

5.             Bagaimana penyelenggaraan pendidikan dilihat dari konstitusi?

 

C.           Tujuan Penulisan

1.             Untuk mengetahui kondisi pemerataan pendidikan di indonesia?

2.             Untuk mengetahui percepatan akses pendidikan yang merata dan berkualitas?

3.             Untuk mengetahui peningkatan mutu pendidikan?

4.             Untuk mengetahui upaya pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan di indonesia

5.             Untuk mengetahui Penyelenggaraan pendidikan dilihat dari konstitusi?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.           KONDISI PEMERATAAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

Di Indonesia, yang paling memerlukan pendidikan adalah mereka yang berada di daerah miskin dan terpencil. Untuk mengatasi kebutuhan pendidikan bagi mereka adalah upaya penerapan cara non konvensional. Cara lain itu adalah memanfaatkan potensi, kemajuan serta keluwesan teknologi baru. Sekalipun teknologi baru seperti teknologi komunikasi, informasi dan adi-marga menawarkan pemerataan pendidikan dengan biaya yang relatif rendah, penggunaannya masih merupakan jurang pemisah antara ‘yang kaya’ dan ‘yang miskin’. Di samping itu, sekalipun teknologi dapat menjangkau yang tak terjangkau serta dapat menghadirkan pendidikan kepada warga belajar, mereka yang terlupakan tetap dirugikan karena bukan hanya tetap buta teknologi tetapi tertinggal dalam hal ilmu pengetahuan.

Mayoritas kaum miskin di Indonesia tinggal di tempat-tempat jauh yang terpencil. Mereka praktis kekurangan segalanya; fasilitas, alat-alat transportasi dan komunikasi di samping rendahnya pengetahuan mereka terhadap teknologi. Bila pendidikan ingin menjangkau mereka yang kurang beruntung ini kondisi yang proporsional harus diciptakan dengan memobilasasi sumber-sumber lokal dan nasional. Ketimpangan pemerataan pendidikan juga terjadi antarwilayah geografis yaitu antara perkotaan dan perdesaan, serta antara kawasan timur Indonesia (KTI) dan kawasan barat Indonesia (KBI), dan antartingkat pendapatan penduduk ataupun antargender.

Kurangnya pemerataan dan carut-marut pendidikan kita selama ini disebabkan pendidikan dikelola tidak secara profesional. Terjadi bongkar pasang kebijakan secara tidak konsisten, misalnya; penerapan kurikulum CBSA, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan kurikulum KTSP. Penggantian nama dari SMA ke SMU kembali lagi ke SMA, sebelum diadakan evaluasi hasil pelaksanaannya.

Terbatasnya ketersediaan buku juga merupakan salah satu faktor terpenting penyelenggaraan pembelajaran yang berkualitas. Namun demikian berbagai sumber data termasuk SUSENAS 2004 mengungkapkan bahwa tidak semua peserta didik dapat mengakses buku pelajaran baik dengan membeli sendiri maupun disediakan oleh sekolah.

 

1.             Pemarataan pendidikan formal

a.             Pendidikan prasekolah dan sekolah dasar

Pendidikan prasekolah merupakan pendidikan pada anak usia dini, misal : playgroup dan taman kanak-kanak. Pada daerah perkotaan pendidikan prasekolah secara formal sudah sering ditemukan, tetapi untuk daerah terpencil seperti di pedesaan, masih sangat jarang dan mutunya sangat berbeda dengan pendidikan prasekolah yang ada di daerah perkotaan. Pendidikan sekolah dasar memang sudah cukup dirasakan pemerataannya di berbagai daerah, hal ini sejalan dengan program wajib belajar 9 tahun, tetapi mutu dari pendidikan tersebut masih sangat berbeda antara daerah perkotaan dengan pedesaan.

Ketersediaan buku juga merupakan salah satu faktor sangat penting dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang berkualitas, namun buku pelajaran yang diperlukan itu belum tersedia secara memadai, terutama dalam pendidikan dasar. Data Susenas 2004 dan sumber-sumber yang lain mengungkapkan bahwa tidak semua peserta didik dalam pendidikan dasar dapat mengakses buku pelajaran, baik dengan membeli sendiri maupun mendapat pinjaman dari sekolah. Adanya sekolah-sekolah yang membolehkan guru mata pelajaran menjual buku yang berharga tinggi juga menjadi permasalahan tersendiri. Penjualan buku-buku dengan harga yang cukup tinggi membuat masyarakat yang kurang mampu merasa terbebani.

b.            Pendidikan menengah

Pada pendidikan menengah, saat ini banyak bermunculan sekolah-sekolah unggul. Dalam pelaksanaannya model sekolah ini hanya diperuntukkan untuk kalangan borjuis, elit, dan berduit yang ingin mempertahankan eksistensinya sebagai kalangan atas. Kalaupun ada peserta didik yang masuk ke sekolah dengan sistem subsidi silang itu hanya akal-akalan saja dari pihak sekolah untuk menghindari “image” di masyarakat sebagai sekolah mahal dan berkualitas,  sekolah plus, sekolah unggulan, sekolah alam, sekolah terpadu, sekolah eksperimen (laboratorium), sekolah full day, dan label-label lain yang melekat pada sekolah yang diasumsikan dengan “unggul”.

 

c.              Pendidikan tinggi

Untuk pendidikan tinggi persoalannya menyangkut pemerataan kesempatan dalam memperoleh pendidikan tinggi bagi warga negara dalam kelompok usia 19-24 tahun. Biaya yang diperlukan untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi memang sangat besar, sehingga hanya anak-anak yang berasal dari keluarga mampu saja yang memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan tinggi. Kebutuhan biaya baik langsung maupun tak langsung yang cukup besar inilah yang menyebabkan rendahnya partisipasi pendidikan pada jenjang perguruan tinggi.

Penyebaran geografis lembaga pendidikan tinggi unggulan di Indonesia juga tidak merata. Berbagai universitas terkemuka dipusatkan berada di pulau Jawa, sehingga masyarakat yang berada di pulau lain harus meninggalkan kampung halamannya demi melanjutkan pendidikan tinggi.

 

Kritik kini mulai bermunculan atas pelaksanaan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) bagi beberapa universitas dan institut, seperti: UI, UGM, USU, UPI, ITB, dan IPB. BHMN dinilai telah mengarah ke komersialisasi pendidikan, yang bertentangan dengan misi utama sebuah lembaga pendidikan tinggi. Untuk bisa kuliah di universitas dan institut terpandang itu, orang tua mahasiswa harus mengeluarkan uang puluhan juta rupiah.

 

2.              Pemerataan pendidikan nonformal

Di samping menghadapi permasalahan dalam meningkatkan akses dan pemerataan pendidikan di jalur formal, pembangunan pendidikan juga menghadapi permasalahan dalam peningkatan akses dan pemerataan pendidikan non formal.

Pada jalur pendidikan non formal juga menghadapi permasalahan dalam hal perluasan dan pemerataan akses pendidikan bagi setiap warga masyarakat. Sampai dengan tahun 2006, pendidikan non formal yang berfungsi baik sebagai transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja (transition from school to work) maupun sebagai bentuk pendidikan sepanjang hayat belum dapat diakses secara luas oleh masyarakat. Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat khususnya yang berusia dewasa untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya masih sangat rendah. Apalagi pendidikan non formal, pada umumnya membutuhkan biaya yang cukup mahal sehingga tidak dapat terangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.

 

3.             Permasalahan pemerataan pendidikan di Indonesia

Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh  pendidikan telah lama menjadi masalah yang mendapat perhatian, terutama di negara sedang berkembang. Peningkatan pemerataan pendidikan, diutamakan bagi kelompok masyarakat miskin yang berjumlah sekitar 38,4 juta atau 17,6 persen dari total penduduk. Kemiskinan menjadi hambatan utama dalam mendapatkan akses pendidikan. Selain itu, daerah-daerah di luar Jawa yang masih tertinggal juga harus mendapat perhatian gunamencegah munculnya kecemburuan sosial. Pemerataan pendidikan di Indonesia merupakan masalah yang sangat rumit. Ketidakmerataan pendidikan di Indonesia ini terjadi pada lapisan masyarakat miskin. Faktor yang mempengaruhi ketidakmerataan ini disebabkan oleh faktor finansial atau keuangan Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin mahal biaya yang dikeluarkan oleh individu. Indonesia merupakan negara berkembang yang sebagian besar masyarakatnya hidup pada taraf yang tidak berkecukupan.

Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54,8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut. Berbagai permasalahan dan tantangan yang masih dihadapi dalam penyelenggaraan pemerataaan peendidikan.

 

 

 

 

B.            PERCEPATAN  AKSES PENDIDIKAN YANG MERATA DAN BERKUALITAS

Akses pendidikan menurut KBBI adalah jalur masuk sehingga akses pendidikan adalah jalur masuk pendidikan, akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk usia sekolah telah memperoleh kesempatan pendidikan, sementara itu akses terhadap pendidikan telah adil jika antar kelompok bisa menikmati pendidikan secara sama.

Artinya, akses pendidikan adalah cara atau kesempatan seseorang dalam mendapatkan hak untuk melangsungkan pendidikan. Karna pendidikan adalah hak setiap warga negara, dengan pendidikan diharapkan terjadinya perubahan pola pikir (mainstream) atau cara pandang dan dengannya  perubahan ke arah kemajuan akan menjadi kenyataan.  Ia merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus mempercepat terwujudnya pendidikan yang merata dan berkualitas melalui berbagai program dan kebijakan yang menjadi sasaran prioritas nasional. Peningkatan akses masyarakat pada layanan pendidikan menjadi salah satu kunci mengurangi kesenjangan di masyarakat.

"Sesuai arahan Presiden, target di sektor pendidikan kita bukan sekadar pemerataan akses pendidikan, tapi juga pemerataan yang berkualitas.Dan kita terus lakukan upaya-upaya untuk mempercepat hal tersebut," ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy.

 

 

 

 

 

 

 

 

Description: C:\Users\LENOVO\Pictures\Screenshots\Screenshot (3).png

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sejak tahun 2015, Program Indonesia Pintar (PIP) telah membantu lebih dari 17,9 juta anak-anak usia sekolah yang berasal dari keluarga miskin, rentan miskin, di seluruh Indonesia. Sebagai program prioritas pemerintah, Kemendikbud memastikan percepatan distribusi Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan pencairan dana manfaat PIP dilakukan secara tepat sasaran, tepat jumlah, tepat waktu, tepat kualitas, dan tepat administrasi. Pemadanan Basis Data Terpadu (BDT) dengan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) akan dilakukan secara berkala setiap tahun untuk mengakomodir pembaruan data yang dinamis. Dan untuk mempercepat penyaluran KIP tambahan bagi siswa yatim piatu dan prioritas lainnya, sepanjang tahun 2017, sebanyak 48.685 siswa di berbagai wilayah di tanah air mendapatkan KIP langsung dari Presiden Joko Widodo.

Muhadjir Effendy menyampaikan bahwa sejak Juli 2017, KIP yang dibagikan akan berbentuk kartu elektronik yang dapat digunakan di Anjungan Tunai Mandiri (ATM) sehingga memangkas proses pencairan dana manfaat PIP. Kerja sama Kemendikbud dengan bank penyalur, serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia tersebut telah sejalan dengan amanat Instruksi Presiden Nomor 63 tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Nontunai.   

Melalui Program Indonesia Pintar, pemerintah terus berupaya meningkatkan partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah khususnya bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin dan rentan miskin. Pada tahun ajaran 2016/2017 angka partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan menengah yang mencakup Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah (MA) telah mencapai 81,95 persen, meningkat dari 76,45 persen pada tahun ajaran 2014/2015. Rasio angka partisipasi sekolah penduduk usia 16-18 tahun antara 20 persen penduduk termiskin terhadap 20 persen penduduk pada tahun 2016 telah mencapai 0,68; lebih tinggi dari target yang ditentukan yaitu sebesar 0,60. Hal ini menunjukkan kesenjangan partisipasi pendidikan yang semakin berkurang antar status ekonomi masyarakat.

Sebagai perwujudan kehadiran negara dalam memberikan layanan pendidikan yang bermutu bagi siswa di wilayah-wilayah terjauh, terpencil, perbatasan, termiskin, atau berpihak pada kelompok paling rentan dalam pembangunan, sampai dengan Juli 2017, pemerintah telah membantu merevitalisasi 49 sekolah, dan membangun 114 sekolah garis depan (SGD) baru di berbagai titik. Selain itu, sepanjang 2017 ini Kemendikbud membantu penyediaan sebelas sekolah untuk memberikan layanan khusus pada peserta didik berkebutuhan khusus.  

Pada bulan Agustus ini, sebanyak 6.296 guru garis depan (GGD) siap bertugas di 14 provinsi dan 93 kabupaten di Indonesia. Sebelumnya, di tahun 2015, sebanyak 797 GGD dilepas oleh Presiden Joko Widodo untuk bertugas di 28 kabupaten yang berada di wilayah 3T (terdepan, terluar dan tertinggal). Menurut Mendikbud, selain menjadi perwakilan negara dalam memberikan pelayanan pendidikan di daerah 3T, para guru garis depan juga menjadi perekat bangsa. Mereka yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia sebelumnya telah mengabdi sebagai Sarjana Mengajar di daerah 3T (SM-3T) kemudian mengikuti seleksi sebagai GGD, untuk ditempatkan di berbagai wilayah di tanah air.   

 

1.             Reformasi Sekolah dan Penguatan Sistem Evaluasi Pendidikan  

Selain peningkatan akses pada layanan pendidikan, pemerataan pendidikan ditempuh dengan beragam upaya untuk merevitalisasi sekolah, baik infrastruktur fisik maupun nonfisik. Pada tahun 2017, Kemendikbud memberlakukan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan (Permendikbud) Nomor 17 Tahun 2017. Sistem zonasi ini, menurut Mendikbud, akan mengurangi ekslusivitas, rivalitas, serta diskriminasi di sekolah-sekolah negeri yang merupakan barang publik (public goods). Hal ini diyakini Mendikbud akan membantu pemerintah dalam memberikan bantuan/afirmasi yang lebih tepat sasaran, baik yang berupa sarana dan prasarana sekolah, maupun peningkatan kapasitas tenaga pendidik dan kependidikan.

Sebelumnya, Kemendikbud menggulirkan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 yang merevitalisasi Komite Sekolah agar lebih berperan dalam upaya memajukan pendidikan di satuan pendidikan. Semangat gotong royong menjadi dasar pembentukan komite sekolah yang melibatkan berbagai unsur di masyarakat. Komite diperbolehkan menggalang dana untuk menutupi kekurangan biaya satuan pendidikan, atau untuk upaya pengembangan sarana prasarana yang bermuara pada terwujudnya pendidikan yang berkualitas di satuan pendidikan. Penggalangan dana tersebut harus berbentuk bantuan dan/atau sumbangan pendidikan, bukan pungutan.

Penguatan pada sistem penilaian pendidikan dilakukan dengan menerapkan ujian sekolah berstandar nasional (USBN) yang mengembalikan peran guru dalam evaluasi pendidikan. Musyawarah Guru Mata Pelajaran mendapatkan ruang untuk menyusun soal ujian dengan bobot sebesar 75 persen, sisanya merupakan soal “jangkar” yang disiapkan Kemendikbud. Adapun soal-soal yang disajikan dalam ujian semakin bervariasi, selain pilihan ganda, Kemendikbud mendorong peningkatan soal-soal yang bermuatan high order thinking skills (HOTS) atau keterampilan berpikir tingkat tinggi sebanyak 10 persen, sebelumnya hanya sekitar 5 persen. Kemampuan berpikir kritis dan analitis menjadi salah satu keterampilan yang wajib dimiliki siswa di abad ke-21.  

Peningkatan sekolah yang menyelenggarakan metode ujian nasional berbasis komputer (UNBK) meningkat pesat, tercatat dua provinsi telah 100 persen melaksanakan UNBK. Di tahun 2017, sebanyak 9.661 sekolah menyelenggarakan UNBK, dan dari 1,8 juta peserta ujian nasional, sebanyak 1,1 juta siswa melaksanakan UNBK. Hal tersebut selain mendorong peningkatan integritas penyelenggaraan ujian nasional, juga dimaknai Mendikbud sebagai wujud gotong royong pendidikan. Sekolah yang memiliki sumber daya perangkat komputer dan jaringan berbagai dengan sekolah-sekolah di sekitar yang belum memiliki sumber daya namun ingin menjalankan metode UNBK. Tercatat sebanyak 71 persen sekolah mampu meraih Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN) yang tinggi, hal ini meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 21 persen.

 

 

 

 

 

 

 

Description: C:\Users\LENOVO\Pictures\Screenshots\Screenshot (5).png

 

 

 

 

 

 

 

 

2.             Revitalisasi SMK untuk Produktivitas Bangsa  

Sesuai Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016, Kemendikbud telah menyusun peta jalan pendidikan vokasi yang memberikan panduan dalam upaya menyelaraskan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Saat ini Kemendikbud terus melakukan penguatan pada 1650 SMK rintisan di berbagai wilayah di Indonesia yang akan menjadi percontohan dan diharapkan dapat menjadi rujukan bagi SMK lain di sekitarnya. Program Revitalisasi yang dilaksanakan oleh SMK percontohan yang meliputi pengembangan dan penyelarasan kurikulum dengan DUDI; inovasi pembelajaran yang mendorong keterampilan abad 21; pemenuhan dan peningkatan profesionalitas guru dan tenaga kependidikan; standarisasi sarana dan srasarana utama; pemutakhiran program kerja sama industri; pengelolaan dan penataan lembaga; serta peningkatan akses sertifikasi kompetensi.

Dalam penguatan kelembagaan, tercatat sebanyak 331 SMK telah ditetapkan sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi Pihak 1 (LSP-P1). Sebanyak 121 SMK sedang dalam proses penetapan menjadi LSP-P1, sedangkan 129 SMK sedang menjalani full assessment dan witness. Ditargetkan, sampai dengan 2020 nanti, semua SMK telah menerapkan sistem ganda. Penguatan kemitraan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan DUDI juga terus dilakukan dengan berbagai kerja sama di tingkat satuan pendidikan, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.  

Afirmasi perbaikan sarana dan prasarana kejuruan sampai bulan Juli 2017 mencapai sebanyak 216 unit sekolah baru (USB), 6.306 ruang kelas baru (RKB). Kemendikbud juga membantu proses rehabilitasi 2.564 SMK, serta 2.278 ruang praktik.          

Pengembangan SMK bidang prioritas juga mengalami peningkatan. Tercatat sampai akhir Juli 2017, Kemendikbud telah melakukan fasilitasi pembentukan 96 SMK bidang Pariwisata, 85 SMK bidang Kemaritiman, dan 95 SMK bidang Pertanian untuk berperan dalam upaya pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan. Di bidang kursus dan pelatihan, saat ini terdapat lebih dari 17 ribu lembaga kursus yang mendapatkan lisensi sebagai Tempat Uji Kompetensi (TUK) di seluruh Indonesia.

 

3.             Penguatan Karakter Bangsa  

Pada bulan Mei yang lalu Presiden Joko Widodo resmi menandatangani dua undang-undang strategis dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan yang diharapkan dapat mendorong literasi masyarakat. “Perlu disadari bahwa bangsa yang memiliki budaya literasi yang baik merupakan salah satu ciri bangsa yang cerdas, dan masyarakat mampu memaknai dan memanfaatkan informasi secara kritis untuk meningkatkan kualitas hidup. Pemenuhan pemilikan budaya literasi ini antara lain dapat didorong dan dikembangkan melalui ketersediaan buku yang bermutu, murah atau terjangkau, dan merata”.

Pada hari yang sama, Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan sebagai salah satu upaya memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia agar dapat menjadi kekuatan untuk membangun masa depan juga resmi disahkan oleh Presiden. “Kebudayaan telah menjadi akar dari pendidikan kita, oleh karena itu, undang-undang pemajuan kebudayaan menekankan pada pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan agar budaya Indonesia dapat tumbuh tangguh di tengah arus deras globalisasi”.

Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) sebagai upaya melakukan revolusi karakter bangsa mendorong sinergi antara tripusat pendidikan menjadi sebuah ekosistem pendidikan. Terdapat lima nilai karakter utama yang menjadi prioritas dalam gerakan PPK, di antaranya religius, nasionalis, integritas, mandiri serta gotong royong. Melalui harmonisasi olah pikir, olah hati, olah rasa, serta olah raga dalam pendidikan nasional diharapkan dapat membantu generasi muda Indonesia menjawab tantangan abad ke-21 dan mewujudkan Indonesia Emas di tahun 2045.

Menurut Mendikbud, guru berperan penting dalam penguatan karakter. Keberadaan guru harus mampu memberikan teladan, inspirasi dan motivasi. Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 menjadi PP Nomor 19 Tahun 2017 tentang Guru dilakukan sebagai upaya mengembalikan jati diri guru sebagai pendidik profesional yang mampu melaksanakan pendidikan karakter yang lebih komprehensif, serta membawa dampak yang lebih besar pada peradaban bangsa.

Sampai dengan Juli 2017, konsep dan modul penguatan pendidikan karakter telah disosialisasikan kepada 1.596 sekolah rintisan yang mencakup 1.892 kepala sekolah, 1.927 guru Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), 154 pengawas sekolah, serta 42 komite sekolah. Diharapkan sekolah rintisan tersebut dapat membawa efek imbas kepada sekolah-sekolah di sekitarnya. Saat ini 21 pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) telah menyatakan komitmen dukungan terhadap pelaksanaan penguatan karakter.

Sebagai sebuah upaya penguatan dan percepatan, PPK tidak mengubah kurikulum yang ada. Muatan pendidikan karakter dalam kurikulum 2013 dikuatkan melalui beragam pendekatan dan metode yang mendorong cara belajar siswa aktif, pemanfaatan sumber-sumber belajar lebih optimal, serta individualisasi peserta didik. Pelaksanaan PPK mengintegrasikan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler di sekolah, serta meningkatkan peran sekolah dalam mengelola ekosistem pendidikan sesuai ajaran Ki Hajar Dewantara.  

Program Guru Pembelajar yang dilaksanakan sejak 2015 menggunakan tiga moda, yaitu tatap muka, kombinasi antara tatap muka dengan daring, dan daring dengan memanfaatkan teknologi informasi. Melalui program ini diharapkan semua guru dapat memperoleh akses peningkatan kompetensi sesuai dengan kebutuhannya.Untuk mendukung program tersebut telah disediakan 2.000 jenis modul peningkatan kompetensi guru. Pada tahun 2017, program guru pembelajar dilanjutkan dengan program Peningkatan Kompetensi Berkelanjutan (PKB) yang dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu penyegaran narasumber pusat, penyegaran instruktur dan pelaksanaan PKB di seluruh PPPPTK.

Kesejahteraan guru dari tahun ke tahun terus ditingkatkan, hal tersebut terlihat dalam alokasi anggaran baik untuk guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun bukan PNS. Di tahun 2017, tunjangan profesi guru disalurkan kepada 1.526.533 guru di seluruh Indonesia.Dengan rincian 1.310.969 guru yang berstatus sebagai PNS daerah dan 215.564 guru swasta.

 

 

 

 

C.           PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN

1.             Beberapa Tuntutan Pendidikan Bermutu

UU nomor 22 tahun 2003 tentang SINDIKNAS.
Pasal 1 ayat 22: “Evaluasi Pndidikan adalah kegiatan pengendalian,penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan...dst sebagai bentuk pertanggung jawaban penyelenggaraan pendidikan.” Pasal 35 ayat 1: “Standar Nasional pendidikan terdiri standar isi,proses,kompetensi lulusan... dst” Pasal 50 ayat 2: “Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu...dst” Pasal 51 ayat 2: “Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu dan evaluasi yang transparan”

 

2.             Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan Oleh Pemerintah

Upaya peningkatan mutu ini menjadi penting dalam rangka menjawab berbagai tantangan terutama globalisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pergerakan tenaga ahli yang sangat masif. Maka persaingan antarbangsa pun berlangsung sengit dan intensif sehingga menuntut lembaga pendidikan untuk mampu melahirkan output pendidikan yang berkualitas, memiliki keahlian dan kompetensi profesional yang siap menghadapi kompetisi global.

Pada era teknologi informasi, guru bukanlah satu-satunya sumber informasi dan ilmu pengetahuan.  Tapi peran guru telah berubah menjadi fasilitaor,motivator dan dimasitator bagi peserta didik. Dalam kondisi seperti itu doharapkan guru  dapat memberikan peran lebih besar. Dengan kata lain peran pendidik tidak dapat digantikan oleh siapa pin dan apa pun serta era apa pun.  Untuk melaksanakan peran tersebut secara efektif  maka perlu ditingkatkan scenario yang jelas.

 

Upaya-upaya yang sedang dilakukan pada saat ini adalah dengan melalui :

1)            Sertifikasi

Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru. Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Sertifikat pendidik adalah sebuah sertifikat yang ditandatangani oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi sebagai bukti formal pengakuan profesionalitas guru yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional.

Dalam Undang-undang Guru dan Dosen disebut sertifikat pendidik. Pendidik yang dimaksud di sini adalah guru dan dosen. Proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru disebut sertifikasi guru dan untuk dosen disebut sertifikasi dosen.

2)             Akreditasi

Akreditasi sekolah kegiatan penilaian yang dilakukan oleh pemerintah dan atau lembaga mandiri yang berwenang untuk menentukan kelayakan program dan atau satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non-formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan., berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, sebagai bentuk akuntabilitas publik yang dilakukan dilakukan secara obyektif, adil, transparan, dan komprehensif dengan menggunakan instrumen dan kriteria yang mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan.

Alasan kebijakan akreditasi sekolah di Indonesia adalah bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu. Untuk dapat menyelenggarakan pendidikan yang bermutu, maka setiap satuan atau program pendidikan harus memenuhi atau melampaui standar yang dilakukan melalui kegiatan akreditasi terhadap kelayakan setiap satuan/program pendidikan.

3)            Standarisasi

Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar Nasional Pendidikan terdiri dari :

a)             Standar Kompetensi Lulusan

b)             Standar Isi

c)             Standar Proses

d)            Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan

e)             Standar Sarana dan Prasarana

f)              Standar Pengelolaan

g)             Standar Pembiayaan Pendidikan

h)             Standar Penilaian Pendidikan

 

Fungsi dan Tujuan Standar :

a)             Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.

b)             Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.

c)             Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.

 

 

 

4)            Peningkatan Gaji dan Kesejahteraan Guru

Muhammad Surya (ketua umum pengurus PGRI), menyatakan dengan tegas “semua keberhasilan Agenda reformasi pendidikan pada akhirnya ditentukan oleh unsur yang ada di front terdepan,yaitu guru. Hak-hak guru sebagai pribadi, pemangku profesi keguruan, anggota masyarakat dan warga negara yang selama ini terabaikan, perlu mendapat prioritas dalam reformasi”. Hak utama pendidik yang harus memperoleh perhatian dalam kebijakan pemerintah adalah hak untuk memperoleh penghasilan dan kesejahteraan dengan standar upah yang layak.

 

5)            Alih Tugas Profesi dan Rekrutmen Guru Untuk Menggantikan Guru atau Pendidik yang Dialaih Tugaskan ke Prfesi Lain.

Upaya ini merupakan konsekuensi bagi para pendidik yang tidak memenuhi standar kompetensi yang harus dialih tugaskan kee profesi lain. Pengalihan tersebut dengan syarat:

a)             Mereka telah diberi kesempatan untuk mengikuti diklat dan pembinaan secara intensif tapi menunjukkan perubahan yng signitifikan.

b)             Guru tersebut memang tidak menunjukkan adanya perubahan kompetensi dan juga tidak ada indikasi positif untuk meningkatkan kompetensinya.

Jika syarat telah dilakukan, maka mereka harus rela dan pantas untuk dialih tugaskan ke tugas yang lain dan sesuai, semisal tenaga administrasi, atau kalau perlu dipensiun dinikan.

 

 

 

 

D.           UPAYA PEMERINTAH DALAM MELAKUKAN PEMERATAAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

Untuk meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan berbagai langkah akan diambil seperti peningkatan jumlah anak yang ikut merasakan pendidikan, akses terhadap pendidikan ini dihitung berdasarkan angka partisipasi mulai tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Umum. Pemerataan pendidikan dilakukan dengan mengupayakan agar semua lapisan masyarakat dapat menikmati pendidikan tanpa mengenal usia dan waktu. Untuk itu dilakukan pembinaan ke semua jenjang pendidikan baik pendidikan reguler ataupun terbuka seperti SD kecil, guru kunjung, SD Pamong, SLTP terbuka, pendidikan penyetaraan SD, SLTP dan SMU (paket A, B, C), dan pendidikan tinggi terbuka yang lebih dikenal pendidikan jarak jauh.

Suatu bukti bahwa pemerintah serius mengelola pemerataan pendidikan dan penuntasan Wajib Belajar 9 tahun adalah kualitas dan jumlah SMP Terbuka. Program SMP Terbuka seudah berjalan 25 tahun sejaktahun 1979 yang telah menamatkan 245 ribu siswa dengan jumlah sekolah 2.870 unit sekolah, 12.871 Tempat Kegiatan Belajar (TKB ) dikan dianggarkannya Rp 90 miliar untuk meningkatkan(TKB), dan itu baru menjangkau 18% kebutuhan.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi ketidakmerataan pendidikan ini dengan cara Wajib Belajar Sembilan Tahun, pemberian beasiswa-beasiswa bagi masyarakat yang kurang mampu atau miskin, kemudian memberikan Bantuan Dana Operasional (BOS). Walaupun sudah diadakan sekolah gratis, Bantuan Dana Operasional (BOS), ataupun alokasi dana BBM, namun bantuan yang diberikan belum merata. Masih banyak masyarakat miskin yang tidak mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan, padahal seluruh rakyat berhak mendapatkan pendidikan yang layak.

 

 

 

1.             Wajib Belajar

Dalam sektor pendidikan, kewajiban belajar tingkat dasar perlu diperluas dari 6 ke 9 tahun, yaitu dengan tambahan 3 tahun pendidikan setingkat SLTP seperti dimandatkan oleh Peraturan Pemerintah 2 Mei 1994. Hal ini segaris dengan semangat “Pendidikan untuk Semua” yang dideklarasikan di konferensi Jomtien di Muangthai tahun 1990 dan Deklarasi Hak-Hak Azasi Manusia Sedunia Artikel 29 yang berbunyi: “Tujuan pendidikan yang benar bukanlah mempertahankan ‘sistem’ tetapi memperkaya kehidupan manusia dengan memberikan pendidikan lebih berkualitas, lebih efektif, lebih cepat dan dengan dukungan biaya negara yang menanggungnya”.

 

2.             Alokasi subsidi BBM

Pengalihan alokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah yang sebagian diperuntukkan bagi sektor pendidikan dan kesehatan mungkin bisa menjadi penghibur. Dari dana kompensasi bidang pendidikan direncanakan terdistribusi dalam bentuk beasiswa. Sekitar 9,6 juta anak kurang mampu usia sekolah menjadi sasaran dari program alokasi ini.

Pada tahun 2003, setidaknya 1 dari 4 penduduk Indonesia termasuk miskin. Jika total penduduk Indonesia adalah sekitar 220 juta jiwa, maka berarti ada sekitar 60 juta jiwa saudara kita yang dalam kategori miskin. Artinya, apa yang sekarang sedang direncanakan pemerintah sangat mungkin belum dapat menjangkau semua rakyat miskin. Memang dibutuhkan cukup waktu untuk sampai ke situ. Yang jelas awal menuju ke arah itutelah dimulai. Dalam konteks ini sebaiknya dibuat suatu kriteria siapa yang bisa mendapatkan bantuan, dan siapa saja yang bisa menunggu giliran berikutnya. Kriteria itu penting agar bantuan yang diberikan kepada rakyat miskin tepat sasaran. Oleh karena itu, proses seleksi seharusnya benar didasarkan oleh data lapangan yang seakurat mungkin.

 

3.             Bidang Teknologi

Kemajuan teknologi menawarakan solusi untuk menyediakan akses pendidikan dan pemerataan pendidikan kepada masyarakat belajar yang tinggal di daerah terpencil. Pendidikan harus dapat memenuhi kebutuhan belajar orang-orang yang kurang beruntung ini secara ekonomi ketimbang menyediakan akses yang tak terjangkau oleh daya beli mereka. Televisi saat ini digunakan sebagai sarana pemerataan pendidikan di Indonesia karena fungsinya yang dapat menginformasikan suatu pesan dari satu daerah ke daerah lain dalam waktu yang bersamaan.

Eksistensi televisi sebagai media komunikasi pada prinsipnya, bertujuan untuk dapat menginformasikan segala bentuk acaranya kepada masyarakat luas. Hendaknya, televisi mempunyai kewajiban moral untuk ikut serta berpartisipasi dalam menginformasikan, mendidik, dan menghibur masyarakat yang pada gilirannya berdampak pada perkembangan pendidikan masyarakat melalui tayangan-tayangan yang disiarkannya. Sebagai media yang memanfaatkan luasnya daerah liputan satelit, televisi menjadi sarana pemersatu wilayah yang efektif bagi pemerintah.

Pemerintah melalui TVRI menyampaikan program-program pembangunan dan kebijaksanaan ke seluruh pelosok tanpa hambatan geografis yang berarti. Saat ini juga telah dirintis Televisi Edukasi (TV-E), media elektronik untuk pendidikan itu dirintis oleh Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (Pustekkom), lembaga yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Ini untuk memberikan layanan siaran pendidikan berkualitas yang dapat menunjang tujuan pendidikan nasional. Tugasnya mengkaji, merancang, mengembangkan, menyebarluaskan, mengevaluasi, dan membina kegiatan pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk pendidikan jarak jauh/terbuka. Ini dalam rangka peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan prinsip teknologi pendidikan berdasarkan kebijakan yang ditetapkan Menteri Pendidikan Nasional.

Siaran Radio Pendidikan untuk Murid Sekolah Dasar (SRPM-SD) adalah suatu sistem atau model pemanfaatan program media audio interaktif untuk siswa SD yang dikembangkan oleh Pustekkom sejak tahun 1991/1992. SRPM-SD lahir dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar. Produk media audio lain yang dihasilkan oleh Pustekkom antara lain Radio Pelangi, audio integrated, dan audio SLTP Terbuka. Tentu saja, itu tadi, termasuk TV-E yang akan berfungsi sebagai media pembelajaran bagi peserta didik, termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil dalam rangka pemerataan kesempatan dan peningkatan mutu pendidikan.

 

4.             Pemanfaatan APBN untuk pendidikan

Dalam UU Nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Untuk memenuhi hak warga negara, pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.

Untuk mengejar ketertinggalan dunia pendidikan baik dari segi mutu dan alokasi anggaran pendidikan dibandingkan dengan negara lain, UUD 1945 mengamanatkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Dengan kenaikan jumlah alokasi anggaran pendidikan diharapkan terjadi pembaharuan sistem pendidikan nasional yaitu dengan memperbaharui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20 persen tersebut disamping untuk memenuhi amanat Pasal 31 Ayat (a) UUD 1945, juga dalam rangka memenuhi Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 13 Agustus 2008 Nomor 13/PUU-VI I 2008. Menurut putusan Mahkamah Konstitusi, selambat-lambatnya dalam UU APBN Tahun Anggaran 2009, Pemerintah dan DPR harus telah memenuhi kewajiban konstitusionalnya untuk menyediakan anggaran sekurang-kurangnya 20 persen untuk pendidikan. Selain itu, Pemerintah dan DPR memprioritaskan pengalokasian anggaran pendidikan 20 persen dari APBN Tahun Anggaran 2009 agar UU APBN Tahun Anggaran 2009 yang memuat anggaran pendidikan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan sejalan dengan amanat UUD 1945.

 

 

 

 

 

E.            PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DILIHAT DARI KONSTITUSI

 

Penyelenggaraan pendidikan dilihat dari konstitusi dapat ditemukan dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...” Untuk mempertegas hal ini, UUD 1945 BAB XIII tentang PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN Pasal 31 Ayat 1 berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”

Padahal konstitusi telah mengamanatkan hal ini dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 2 yang berbunyi : “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” kewajiban pembiayaan ini dipertegas kembali oleh konstitusi dalam ayat 4 yang berbunyi : “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Padahal Target MDG adalah menjamin bahwa sampai dengan 2015, semua anak, di mana pun, laki-laki dan perempuan, dapat menyelesaikan sekolah dasar.

Penyelenggaraan pendidikan dilihat dari sumbangannya, yaitu

1.             Peningkatan kualitas sumber daya manusia

Pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan kualitas sumber daya manusia. Karena pendidikan memainkan peranan dalam membentuk pola pikir seseorang dalam menanggapi dan memecahkan masalah yang ditemuinya.

 

 

2.             Investasi jangka panjang

Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang perekonomian bangsa. Tanpa sumber daya manusia yang memiliki produktifitas yang tinggi maka dapat dipastikan negara tersebut akan mengalami kehancuran. Melalui sumber daya manusia yang baik (memiliki produktifitas yang tinggi) maka perekonomian yang terus bertumbuh akan tercipta dan berujung pada kemajuan yang diperoleh negara tersebut. Karena sumber daya manusia merupakan faktor utama penentu kemajuan suatu bangsa dan negara. Maka dari itu, penyelenggaraan pendidikan yang merata dikatakan juga sebagai investasi jangka panjang yang akan dibutuhkan bagi perkembangan perekonomian ke depan.

 

Kondisi IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dan Pendidikan di Indonesia

1)            Kondisi IPM Indonesia

Tiga tahun lagi (2015) kita akan memasuki tahap akhir dari target Millennium Development Goals (MDGs) atau Tujuan Pembangunan Milenium yang sama-sama telah disusun oleh berbegai negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut serta berpartisipasi di dalamnya, dimana dalam kesepakatannya setiap negara menyepakati capaian-capaian yang ingin direalisasikan. Dalam hal ini Indonesia menyepakati ada 21 target yang akan diupayakan untuk diselesaikan dari perubahan 18 target yang telah disepakati tahun 2008 yang lalu (Buku Saku MDGs 2010).

Salah satu target yang ingin dicapai oleh pemerintah Indonesia yaitu pemerataan pendidikan. Untuk jenjang pendidikan dasar pemerintah telah menetapkan akan mencapai kondisi dimana semua anak, di mana pun, laki-laki dan perempuan, dapat menyelesaikan sekolah dasar. Hal ini bukan tanpa alasan. Pemerintah ikut serta dalam hal kesepakatan ini bertujuan untuk membangun peradaban manusia yang baik, dimana seluruh hak yang melekat didalam diri setiap orang dapat diberikan dan selanjutnya akan menciptakan manusia-manusia yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas yang dapat digunakan untuk kemajuan umat manusia.

Selain itu, hal yang paling penting yaitu pemerintah harus menjalankan amanat yang tertuang dalam konstitusi (seperti yang telah diuraikan diatas) karena pada dasarnya, pemerintah tidak boleh terlalu jauh berpegang pada hal lain jika hal tersebut bertentangan dengan konstitusi negara. Jika suatu program internasional seperti kesepakatan MDGs ini sejalan dengan amanat konstitusi, maka hal ini dapat untuk dilaksanakan oleh pemerintah, dan kedepannya jika kesepakatan ini berjalan sukses maka negara-negara lain akan memberi kepercayaan kepada Indonesia karena memiliki komitmen yang dijalankan dengan serius.

Akan tetapi jika suatu kesepakatan yang dihasilkan oleh perjanjian-perjanjian internasional bertentangan dengan konstitusi, pemerintah harus tegas untuk menolaknya. Pada dasarnya, keikutsertaan Indonesia dalam program ini membuktikan bahwa pemerintah serius untuk membenah kondisi pendidikan kita saat ini, selain itu, pemerintah juga berkeinginan agar sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara lain. Tidak ada jalan lain selain memajukan dunia pendidikan. Hal ini tampak dari meningkatnya indeks pembangunan manusia dimana pada tahun 2005 IPM Indonesia 0,697 berada pada peringkat 110 dunia dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 0,734 akan tetapi turun peringkat menjadi 111 dunia.

Meskipun dirasa pencapaian ini masih sangat kecil, akan tetapi dapat terlihat komitmen dari pemerintah untuk menjalankan program yang telah disusun bersama. Turunnya peringkat Indonesia dari 110 menjadi 111 maupun kecilnya angka kenaikan yang dapat Indonesia capai, mengindikasikan bahwa negara-negara lain lebih cepat dalam mempercepat kemajuan pendidikan mereka, meskipun disisi lain ada beberapa negara baru yang masuk sehingga menurunkan peringkat beberapa negara, termasuk Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dari negara tetangga kita Malaysia, pada tahun 2005 IPM Malaysia 0,796 berada pada 61 dunia dan meningkat menjadi 0,829 dan berada pada pada urutan 66 dunia.

 

2)            Kondisi pendidikan dasar di Indonesia

Melihat kenyataan yang berkembang saat ini, dimana batas-batas antar wilayah telah mulai kabur oleh paham globalisasi yang menjalar ke setiap negara dan beberapa perjanjian-perjanjian internasional yang telah disepakati mengenai liberalisasi perdagangan dan mobilitas jasa yang tidak mengenal batas administratif, Indonesia harus dapat melihat hal ini sebagai peluang dan sekaligus ancaman. Disatu sisi adanya perjanjian-perjanjian internasional yang telah disepakati ini akan dapat membuat Indonesia mengambil keuntungan yang besar (mengingat besarnya keunggulan komparatif yang dapat diberdayagunakan oleh Indonesia) dengan jalan memproduksi kebutuhan dunia.

Di lain pihak, kita harus waspada terhadap serbuan asing yang saat ini telah datang melalui perjanjian internasional ACFTA (Suatu kawasan perdagangan bebas di antara anggota-anggota ASEAN dan Cina) Selain itu yang paling penting adalah menyiapkan manusia-manusia Indonesia untuk dapat bersaing dengan manusia-manusia dari negara lain. Langkah penting untuk melaksanakan ini adalah dengan meningkatkan penyelenggaraan pendidikan bagi semua orang (Seperti yang telah diamanatkan konstitusi).

Saat ini untuk dapat melihat kondisi pemerataan pendidikan di Indonesia kita dapat melihatnya dari angka partisipasi murni (APM) dan angka partisipasi kasar (APK) pada tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Partisipasi ditingkat SD (APM) sebesar 91,94%. Ditingkat SMP angka partisipasi murni (APM) sebesar 75,57%. Ditingkat sekolah menengah (SM) angka partisipasi murni (APM) sebesar 67,14%. sedangkan angka parisipasi kasar (APK) sekolah menengah (SM) sebesar 88,55%.

Padahal untuk SD dan SMP pemerintah menargetkan 100%. Belum lagi ketimpangan antar daerah yang terjadi di Indonesia. Daerah-daerah terbelakang dan belum mendapatkan akses infrastruktur dasar masih tersebar diberbagai pelosok daerah. Tentunya hal ini menyulitkan untuk mewujudkan tujuan pemerataan pendidikan yang telah Indonesia sepakati.

Belum lagi untuk jenjang pendidikan SMA dan perguruan tinggi. Ketimpangan sangat terasa dilevel ini. Akses yang sangat sulit didapat masyarakat membuktikan rendahnya APK pada level ini. Hal ini terbukti dari rendahnya APK untuk SM yakni sebesar 69,60% dan PT 18,33%. Tidak dapat dipungkiri, biaya untuk mengakses pendidikan di level ini masih sangat tinggi dan sulit untuk dijangkau oleh penduduk miskin yang saat ini berjumlah 30,02 juta orang dengan pendapatan yang minim dan hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari.

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.           Kesimpulan

 

Pemerataan pendidikan merupakan sautu masalah yang sangat rumit dan tak kunjung selesai. Banyak hal yang mempengaruhi masalah pemerataan pendidikan di Indonesia seperti pendidikan masih berorientasi di wilayah perkotaan, jumlah masyarakat miskin cukup besar, dan banyaknya daerah yang terpencil dan sulit dijangkau oleh kendaraan. Berbagai upayapun telah dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi masalah pemerataan pendidikan seperti program wajib belajar 9 tahun, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), relokasi subsidi BBM, dan penggunaan APBD. Namun upaya tersebut masih belum merata.

Kemudian memberikan fasilitas pelatihan bagi guru-guru dan dosen agar dapat semakin meningkatkan kulitas para pendidik kita. Kemudian, yang juga tidak kalah pentingnya yaitu menganggarkan beasiswa untuk guru, dosen dan seluruh masyarakat yang ingin melanjutkan jenjang ke pendidikan tinggi yang ada di luar negri. Hal ini bertujuan agar sekembalinya para anak didik yang telah mengenyam bangku pendidikan di perguruan tinggi luar negri dapat berkontribusi positif dalam meningkatkan kualitas dan memberikan pengalaman-pengalaman baru yang dapat diterapkan dan diadopsi di Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

B.             Saran

 

Sebaiknya pemerintah lebih meningkatkan upaya-upaya pemerataan pendidikan di Indonesia dan pengawasan terhadap penyaluran bantuan yang diberikan masyarakat miskin seperti biaya siswa lebih ditingkatkan agar bantuan tersebut tepet sasaran.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Ali imron. (2002). Kebijaksaan dalam pendidikan Indonesia . Pt bumi aksara, Jakarta

Depdiknas. (2003) .Undang-undang Nomor 20 tahun2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Karsidi, Ravik. (2005). Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan Teknologi Belajar Jarak Jauh:Solo

Purbo, T. (2003). Wawasan Pendidikan. Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama,
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.

Samba, (2018), Makalah isu-isu aktual dalam pendidikan akses dan equity (pemerataan) pendidikan [Online]. Tersedia: https://simba-corp.blogspot.com/2018/10/makalah-isu-isu-aktual-dalam-pendidikan.html [diakses 20 Oktober 2018].

Sismanto, (1993). Pendidikan Luar Sekolah dalam Upaya Mencerdaskan Bangsa:
Jakarta.Eraswasta.

Suryana. (2009). Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Berkelanjutan:Cilacap.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jurnal Refleksi Dwimingguan Modul 1.1 Filosofi Pemikiran Ki Hajar Dewantara

Secara umum, jurnal adalah sebuah tulisan yang dibuat oleh orang-orang yang ahli dalam suatu bidang. Sementara itu, Dalam Kamus Besar Baha...