BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Peningkatan kualitas
proses pembelajaran merupakan suatu proses yang harus dilaksanakan secara
terus
menerus dan berkesinambungan agar tujuan
pendidikan dapat tercapai secara
efektif
dan
efisien. Proses pembelajaran
merupakan suatu proses dimana semua potensi yang dimiliki oleh peserta didik dikembangkan oleh guru. Peran guru apalagi untuk siswa
sekolah dasar tidak bisa tergantikan oleh perangkat lain. Siswa memerlukan guru karena siswa adalah
organisme yang sedang berkembang yang
memerlukan bimbingan dan bantuan
orang dewasa (Wina
Sanjaya,
2006: 52).
Hal yang
sama juga diungkapkan oleh Dwi Siswoyo, dkk (2008: 44), di
dalam komponen pendidikan ada tiga unsur
sentral dalam upaya pendidikan. Tiga unsur sentral tersebut adalah pendidik atau guru, peserta didik atau siswa
dan tujuan pendidikan. Proses pendidikan akan terjadi bila ketiga
unsur tersebut saling berhubungan secara fungsional dalam satu kesatuan yang
padu. Oleh karena itu,
guru sebagai salah satu unsur sentral dalam pendidikan memiliki peran penting
dalam proses pembelajaran untuk mengantarkan siswa kepada
tujuan pendidikan
yang telah
ditetapkan.
Oemar Hamalik (2001: 171) mengemukakan bahwa pengajaran yang efektif adalah pengajaran yang menyediakan kesempatan belajar sendiri atau
melakukan aktivitas sendiri. Artinya pembelajaran yang efektif
memerlukan keterlibatan
siswa di dalamnya. Siswa ditempatkan sebagai subjek didik, sebagai subjek didik
siswa harus terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Siswa tidak hanya bertugas menerima segala macam informasi, tetapi siswa
harus berusaha mendapatkan dan memperoleh informasi
dengan usahanya sendiri.
Siswa yang berusaha
mengalami dan berbuat selama
pembelajaran dapat membentuk pola
pengetahuan yang lebih
bermakna bagi siswa. Dengan melibatkan siswa secara aktif maka proses pembelajaran telah dirancang untuk mengembangkan
aspek kognitif,
afektif,
dan psikomotor siswa. Selain itu
tanpa adanya partisipasi belajar dari siswa, proses belajar
tidak mungkin berlangsung dengan baik karena proses belajar melibatkan interaksi antara
peserta
didik dan pendidik. Dengan kata lain partisipasi belajar siswa
merupakan salah satu prinsip
yang perlu
diperhatikan oleh guru dalam proses
pembelajaran.
Tugas dan tanggung jawab utama seorang guru atau pengajar adalah mengelola pengajaran dengan lebih efektif, dinamis,
efisien, dan positif
yang ditandai dengan adanya kesadaran dan keterlibatan aktif diantara dua subjek pengajaran, guru sebagai penginisiatif awal dan pengarah serta
pembimbing, sedang
peserta didik sebagai yang
mengalami dan terlibat aktif untuk memperoleh
perubahan diri dalam
pengajaran (Ahmad Rohani, 2004: 1).
Oleh karena itu,
upaya
peningkatan partisipasi
belajar
dapat
diterapkan dalam semua mata pelajaran yang diajarkan kepada peserta didik, tidak terkecuali
dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Etin
Solihatin & Raharjo ( 2009:15)
menjelaskan pada
dasarnya
tujuan pendidikan IPS adalah untuk mendidik dan
memberi bekal kemampuan dasar
kepada siswa untuk mengembangkan diri sesuai
bakat, minat, kemampuan, dan lingkungannya, serta berbagai bekal siswa untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Artinya pola pembelajaran IPS lebih
menekankan pada upaya pembekalan peserta
didik, pembelajaran IPS bukan
semata-mata hanya menghafal sejumlah konsep saja, melainkan terletak pada upaya agar apa yang
telah dipelajari oleh peserta didik dapat menjadi bekal bagi dirinya untuk menjalani kehidupan
bermasyarakat.
Berdasarkan
pengamatan
yang dilakukan peneliti dalam pembelajaran IPS pada siswa kelas V SD Negeri
04 Salo, siswa kurang memiliki
partisipasi belajar selama
proses pembelajaran
berlangsung. Kondisi pembelajaran yang
dilakukan oleh guru kurang
merangsang partisipasi belajar siswa. Hal ini dapat diamati dari aktivitas siswa yang ramai sendiri ketika guru menjelaskan materi di depan kelas, siswa
mengobrol dengan teman sebangku, dan siswa sibuk
dengan aktivitas lain selama pembelajaran. Pada saat guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapatnya, banyak siswa yang diam. Ketika guru bertanya kepada siswa, hanya ada
beberapa siswa yang menjawab atau memberikan tanggapan, hal ini menunjukkan kurangnya respons yang diberikan siswa terhadap pembelajaran IPS yang sedang berlangsung.
Selama
mengamati proses pembelajaran di kelas V SD Negeri 04
Salo, guru berfokus menggunakan buku paket (text book) sebagai sumber utama belajar
bagi siswa
selama pembelajaran IPS. Ketika guru memulai pembelajaran siswa
diminta untuk membaca dan
mempelajari materi dari
buku paket IPS masing- masing siswa. Setelah itu guru menjelaskan di depan kelas dan siswa menyimak
sambil mendengarkan informasi atau pengetahuan yang
diberikan guru. Hal ini
menjadikan kondisi pembelajaran menjadi tidak proposional, guru aktif
tetapi sebaliknya siswa menjadi pasif. Interaksi
dalam
proses pembelajaran
lebih bersifat satu arah karena belum adanya hubungan timbal balik antara
guru
dan
peserta didik.
Guru sebagai
pemegang
kendali dalam kelas
tentunya memiliki pemikiran
dan
tindakan yang
nyata untuk meningkatkan partisipasi belajar siswa. Dengan adanya keterlibatan siswa secara langsung
selama pembelajaran IPS diharapkan
pembelajaran menjadi bermakna
bagi siswa, proses belajar tidak hanya sekedar
transfer konsep saja atau hafalan. Saat siswa
memiliki aktivitas jasmani maka
aktivitas psikisnya
akan tumbuh dengan sendirinya. Atas dasar kondisi pembelajaran IPS di kelas V SD Negeri 04 Salo yang menunjukkan masih kurangnya partisipasi belajar
siswa
selama proses pembelajaran IPS maka diperlukan suatu usaha untuk meningkatkan partisipasi
belajar
dalam pembelajaran IPS.
Pemahaman dan pengetahuan guru tentang metode-metode
pembelajaran
dapat digunakan sebagai usaha perbaikan sistem pembelajaran dalam pelajaran
IPS. Salah satu metode yang
dapat diterapkan dalam pembelajaran IPS adalah
metode role playing. Dengan menggunakan metode role playing siswa
akan
mampu ikut serta dalam
proses pembelajaran, karena metode ini melibatkan siswa untuk
beraktivitas baik secara fisik
maupun psikis. Ketika
siswa bertanya atau
mengungkapkan pendapatnya, itu berarti siswa telah memiliki partisipasi belajar di dalam proses pembelajaran. Apalagi selama
proses pembelajaran siswa diajak untuk
melakukan sesuatu, diajak untuk berdiskusi, meyimpulkan materi pelajaran, mencatat
atau meringkas,
maka
proses pembelajaran
yang dilakukan
telah menekankan
siswa
sebagai subjek
didik.
Penggunaan metode role playing
dapat dijadikan sebagai sarana
dalam meningkatkan partisipasi belajar dalam
pembelajaran IPS.
Hal
ini dikarenakan partisipasi belajar menekankan pada kesadaran peserta didik untuk ikut berperan serta
dalam proses pembelajaran sehingga peserta didik dapat mengembangkan segala potensi dan aspek perkembangannya, baik itu perkembangan fisik, bahasa, emosi, dan
sosial.
Dengan menggunakan metode role
playing ini semua siswa akan ikut
berpartisipasi secara
aktif dalam proses pembelajaran. Peserta
didik akan membutuhkan peserta didik lain
untuk meniru perbuatan, reaksi dan
menghasilkan dunia
seperti yang mereka lihat, sehingga akan terjalin suatu hubungan sosial di
dalamnya. Alasan lain penggunaan metode role playing ini karena dapat dipergunakan sebagai suatu metode
untuk memecahkan suatu masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan
hubungan interpersonal.
Keuntungan lain yang
didapat dengan menggunakan
bermain peran diharapkan siswa dapat belajar mengenal berbagai peran dalam kehidupan nyata, siswa dapat bertanggung jawab terhadap tugasnya, siswa dapat belajar untuk
menerima pendapat atau masukan dari orang lain, siswa dapat memperhatikan
pendapat orang
lain, mampu mengungkapkan pendapatnya dan memahami fakta mengenai nilai-nilai yang ada di masyarakat. Dengan demikian siswa akan
memiliki bekal yang bermanfaat pada saat terjun ke masyarakat kelak karena ia akan mendapatkan diri dalam situasi di mana begitu banyak peran terjadi, seperti
dalam lingkungan keluarga,
bertetangga, lingkungan sekolah,
dan lain-lain.
Pembelajaran dengan metode
role playing menunjang kerja sama siswa dalam bentuk kelompok. Hal ini sejalan dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Ketika bermain peran,
peserta
didik akan beraksi dan berinteraksi dengan peserta
didik lainnya dalam bentuk permainan sosial, dimana siswa akan belajar memahami orang
lain, saling berhubungan, siswa akan belajar tentang nilai-nilai sosial yang ada dalam kehidupan.
Dengan
menggunakan metode pembelajaran role playing diharapkan siswa
dapat memiliki partisipasi belajar
selama pembelajaran IPS. Dalam hal ini peneliti mengambil judul “Meningkatkan
Partisipasi Belajar
Siswa Dalam Pembelajaran IPS Menggunakan Metode Role Playing Pada Siswa Kelas V SD Negeri
04 Salo”.
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang
telah dikemukakan di atas maka
dapat
diidentifikasikan beberapa masalah yang berkaitan dengan proses
pembelajaran IPS sebagai berikut:
1.
Kondisi pembelajaran yang dilakukan oleh guru kurang merangsang partisipasi belajar siswa.
2.
Guru lebih berfokus menggunakan buku paket sebagai sumber utama belajar
bagi
siswa selama pembelajaran IPS (text
book).
3.
Kurang optimalnya respon yang diberikan siswa selama proses pembelajaran IPS berlangsung.
4.
Dalam
pembelajaran IPS
di kelas, guru lebih
sering menggunakan metode ceramah untuk menjelaskan
materi kepada siswa.
C.
Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah
dan
pembatasan masalah di
atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimana
meningkatkan partisipasi belajar menggunakan metode role playing pada pembelajaran IPS di
kelas V SD Negeri 04 Salo?”
D.
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah
di atas,
tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan penggunaan metode role
playing untuk meningkatkan partisipasi belajar pada pembelajaran IPS di kelas
V SD Negeri 04
Salo.
E.
Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan memiliki kontribusi dalam mencetak generasi
penerus
bangsa
yang mampu
berpartisipasi dalam
masyarakat
demokratis
serta memiliki tanggung jawab
sebagai warga negara
Indonesia.
2.
Manfaat Praktis
a.
Bagi
siswa
Membantu siswa untuk meningkatkan dan mendorong partisipasi belajar
dalam mengikuti proses
pembelajaran IPS di kelas.
b.
Bagi guru
Guru
dapat mengetahui metode pembelajaran yang
cocok digunakan untuk meningkatkan
partisipasi belajar dalam
pembelajaran IPS.
c.
Bagi
sekolah
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan sumbangan
pemikiran sebagai bentuk usaha
peningkatan kualitas pembelajaran di SD Negeri
04 Salo.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Partisipasi Belajar
1.
Pengertian Partisipasi
Partisipasi berasal dari Bahasa Inggris “participation” yang
berarti pengambilan bagian atau pengikut sertaan. Krathwohl dan Blomm dalam Dimyati
& Mudjiono (2006: 28) mengemukakan salah satu ranah afektif siswa dalam belajar adalah partisipasi yaitu mencakup kerelaan,
kesediaan
memperhatikan dan
berpartisipasi dalam suatu kegiatan,
misalnya mematuhi
aturan.
Berdasarkan pendapat Tjokrowinoto dalam Suryobroto (1997: 278) partisipasi adalah penyertaan mental dan emosi seseorang
di dalam situasi kelompok yang mendorong
mereka
untuk
mengembangkan daya pikir
dan perasaan mereka bagi terciptanya tujuan-tujuan bersama tanggung jawab terhadap tujuan tersebut.
Dari beberapa
pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi
adalah keterlibatan mental, fisik dan emosi seseorang dalam memberikan respon terhadap kegiatan yang sedang dilakukan guna mencapai tujuan bersama. Pada
proses belajar mengajar di sekolah partisipasi ini dapat diartikan
sebagai
keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Partisipasi sangat penting untuk
menciptakan
pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan.
Dalam proses belajar sendiri partisipasi siswa sendiri menentukan
tercapai atau tidaknya suatu tujuan
pembelajaran.
2.
Pengertian Belajar
Dimyati & Mudjiono (2006: 7), mengemukakan bahwa belajar merupakan
tindakan
dan perilaku siswa
yang kompleks. Proses
belajar terjadi
jika siswa memperoleh
sesuatu dari
lingkungan sekitarnya. Lingkungan berupa keadaan alam,
benda-benda,
hewan,
tumbuhan, manusia atau hal-hal lain dapat dijadikan
sebagai
bahan
belajar.
Gagne seperti yang dikutip Dimyati & Mudjiono (2006: 10) menguraikan
belajar merupakan kegiatan yang
kompleks, hasil belajar berupa kapabilitas. Jadi setelah belajar
sesuatu orang akan memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai. Dan tentunya timbulnya kapabilitas itu berasal dari stimulasi
lingkungan dan
proses kognitif yang dilakukan
oleh siswa itu sendiri.
Pengertian belajar menurut Slameto (2003: 2) ialah “suatu
proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang
baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.”
Ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar
adalah perubahan
terjadi secara
sadar, perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional,
perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif, perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara, perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah, dan perubahan mencakup
seluruh aspek tingkah
laku.
Lester D. Crow dalam Syaiful Sagala (2010: 15) mengemukakan “belajar
ialah upaya untuk memperoleh
kebiasaan-kebiasaan,
pengetahuan
dan sikap-
sikap. Belajar dikatakan berhasil manakala seseorang mampu
mengulangi kembali materi yang telah dipelajarinya”.
Belajar menurut Slavin dalam Trianto (2009: 16)
mendefinisikan belajar
sebagai:
“Learning is usually defined as
a change in an individual caused
by experience. Changes caused by
developmnet (such as growing taller) are
not instances of learning. Neither are characteristic of individuals
that are present at birth
(such as reflexes and respons to hunger or
pain). However, humans do so much learning from the day of their birth (and some say earlier)
that learning and development are
inseparably linked”.
Belajar secara umum
diartikan sebagai perubahan pada individu yang terjadi melalui pengalaman, dan bukan karena pertumbuhan atau perkembangan
tubuhnya atau karakteristik seseorang sejak lahir. Manusia banyak belajar sejak lahir. Bahwa belajar dan perkembangan erat
kaitannya.
Dengan demikian belajar
merupakan suatu proses perubahan tingkah laku
pada siswa sebagai akibat dari pengalaman atau interaksi dengan lingkungan
disekitarnya. Bukti
bahwa
sesorang telah belajar ialah
terjadinya perubahan
tingkah laku
pada
orang tersebut misalnya
dari tidak
tahu menjadi tahu dan dari
tidak
mengerti menjadi mengerti.
Perubahan
tingkah laku sendiri dapat dilihat
dari sejumlah aspek yaitu pengetahuan,
pengertian,
kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani, etis dan sikap. Sebagai contoh siswa belum memahami tentang pengertian benda
mati, setelah siswa
membaca buku atau melihat lingkungan di sekitar tempat tinggalnya, melihat
benda-benda, siswa menjadi paham tentang pengertian
benda
mati. Contoh ini merupakan perubahan
pengetahuan sebagai akibat dari
proses belajar.
3.
Pengertian Partisipasi Belajar
Pembelajaran dapat diberi arti sebagai setiap upaya yang
sistematik dan disengaja
oleh pendidik untuk menciptakan kondisi-kondisi agar
peserta
didik melakukan kegiatan belajar
(Sudjana, 2005: 8). Artinya dalam kegiatan pembelajaran terjadi suatu interaksi edukatif antara pendidik dan peserta
didik untuk mencapai
tujuan tertentu.
Karena
dalam kegiatan proses
pembelajaran harus suatu ada interaksi
edukatif maka peserta didik harus berpartisipasi dalam kegiatan belajar secara
aktif.
Melalui partisipasi siswa secara aktif maka akan terjadi interaksi dua arah
antara guru
dengan siswa. Sehingga partisipasi belajar berarti keikutsertaan siswa dalam suatu kegiatan belajar yang
ditunjukkan dengan adanya perilaku fisik dan
psikisnya.
Partisipasi belajar akan menuntut siswa
untuk
ikut serta bertanggung jawab terhadap keberhasilan pencapaian
tujuan belajar
sebab partisipasi siswa
dibutuhkan dalam menetapkan tujuan dan dalam kegiatan belajar
dan
mengajar (Hasibuan & Moedjiono, 2006: 7). Oleh sebab
itu pembelajaran
yang efektif
adalah pembelajaran yang menyediakan kesempatan belajar sendiri bagi siswa
melalui berbagai aktifitas belajar.
Paul D. Dierich (Oemar Hamalik, 2001: 172–173) membagi
kegiatan
belajar dalam
delapan kelompok yaitu:
a.
Kegiatan-kegiatan visual
Membaca,
melihat gambar-gambar,
mengamati
eksperimen, demostrasi,
pameran dan mengamati orang lain bekerja atau
bermain.
b.
Kegiatan-kegiatan lisan (oral)
Mengemukakan suatu fakta
atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan
pertanyaan, memberi
saran, mengemukakan pendapat, wawancara,
diskusi dan interupsi.
c.
Kegiatan-kegiatan mendengarkan
Mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan
atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan dan mendengarkan
radio.
d.
Kegiatan-kegiatan menulis
Menulis cerita, menulis laporan,
memeriksa karangan, membuat rangkuman,
mengerjakan tes dan
mengisi angket.
e.
Kegiatan-kegiatan menggambar
Menggambar,
membuat
grafik, chart, diagram, peta
dan pola.
f.
Kegiatan-kegiatan metric
Melakukan percobaan,
memilih alat-alat,
melaksanakan pameran, membuat model, menari, dan
berkebun.
g.
Kegiatan-kegiatan mental
Merenungkan, mengingat,
memecahkan masalah, menganalisis
faktor- faktor, melihat hubungan dan membuat
keputusan.
h.
Kegiatan-kegiatan emosional
Minat, membedakan,
berani,
tenang dan
lain-lain.
Adapun aspek yang dikaji dalam partisipasi belajar siswa (Made Sumadi,2002:
6) adalah:
a.
Partisipasi
bertanya.
b.
Partisipasi
menjawab.
c.
Menyelesaikan tugas secara tuntas.
d.
Partisipasi
dalam diskusi.
e.
Mencatat
penjelasan guru.
f.
Menyelesaikan soal di papan
tulis.
g.
Mengerjakan tes secara individu.
h.
Menyimpulkan
materi
pelajaran di akhir pelajaran.
Nana Sudjana (2000:
55)
menyebutkan bahwa kegiatan pembelajaran
dibutuhkan keikutsertaan (partisipasi) siswa dalam kegiatan
pembelajaran.
Kegiatan siswa
diwujudkan dalam tiga
tahapan kegiatan pembelajaran yaitu perencanaan program (program plannning), pelaksanaan program (program
implementation), dan penilaian program (program evaluation) kegiatan pembelajaran.
a.
Perencanaan
program
Partisipasi pada tahap perencanaan adalah keterlibatan siswa dalam
kegiatan
mengidentifikasi kebutuhan belajar, sumber-sumber yang
tersedia dan kemungkinan
hambatan yang dihadapi dalam kegiatan pembelajaran, penyusunan
prioritas kebutuhan, perumusan tujuan belajar, dan
penetapan program kegiatan pembelajaran.
b.
Pelaksanaaan
program
Partisipasi dalam tahap pelaksanaan adalah
keterlibatan peserta
didik dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk belajar, yang
mencakup:
1)
kedisiplinan siswa
yang ditandai
dengan keteraturan
dalam kehadiran pada setiap kegiatan
pembelajaran,
2)
pembinaan hubungan antar
siswa dan antara siswa dengan guru
sehingga tercipta hubungan kemanusiaan yang
terbuka, akrab,
terarah, saling menghargai,
dan saling membantu,
3)
interaksi kegiatan antara
siswa dan
guru
dilakukan
melalui hubungan horizontal,
4)
tekanan kegiatan pembelajaran
adalah
pada peranan
siswa yang lebih aktif melakukan kegiatan
pembelajaran.
c.
Evaluasi program
Evaluasi dilakukan untuk menghimpun, mengolah, dan
menyajikan data atau informasi yang dapat digunakan sebagai masukan dalam
pengambilan keputusan. Partisipasi dalam tahap
evaluasi ini bermanfaat bagi siswa untuk mengetahui tentang sejauh mana
perubahan yang telah
dialami dan
dicapai oleh mereka melalui kegiatan pembelajaran
partisipatif.
Partisipasi belajar merupakan keikutsertaaan atau keterlibatan siswa
baik secara fisik, mental maupun sosial selama proses pembelajaran berlangsung. Aspek-aspek dari partisipasi yang dapat dijadikan alat ukur tingkat partisipasi belajar adalah
mengajukan pertanyaan,
menjawab pertanyaan, menyelesaikan tugas secara tuntas, ikut serta berdiskusi,
mencatat penjelasan
guru,
menyelesaikan
soal
di
papan
tulis,
mengerjakan
tes
secara individu,
dan meyimpulkan
pelajaran. Partisipasi belajar dalam pembelajaran penting guna menciptakan pembelajaran
yang
menempatkan
siswa sebagai subjek
didik,
dimana siswa
tidak hanya duduk mendengar informasi dari guru, tetapi siswa
bertindak secara aktif
untuk memperoleh pengetahuan dan pemahamannya sendiri melalui arahan dan bimbingan
dari guru.
Dengan adanya partisipasi belajar
dari
siswa, pembelajaran akan lebih terfokuskan untuk
mendidik dan mengembangkan
potensi dan aspek-aspek
perkembangan siswa kearah yang lebih optimal. Siswa benar-benar diposisikan sebagai subyek yang sedang
belajar. Oleh karena itu salah satu
tugas guru adalah
menyediakan dan menyiapkan kondisi pembelajaran yang dapat merangsang keterlibatan siswa di dalamnya. Siswa
yang belajar dengan mengalami secara
langsung akan memberikan pengetahuan yang lebih bermakna bagi siswa dan
pengetahuannya dapat
lebih tahan lama
tersimpan dalam
memori ingatan siswa.
B.
Metode Role Playing
1.
Pengertian Metode Role Playing
Manusia merupakan makhluk
sosial,
manusia hidup selalu
membutuhkan orang lain, mereka tidak bisa hidup seorang diri
tanpa bantuan orang lain. Dalam kehidupan
sosial sendiri manusia selalu berinteraksi dan bekerja sama dengan
manusia lain. Asumsi bahwa manusia merupakan makhluk sosial dan selalu bekerjasama dengan orang
lain inilah yang menjadi dasar dari pengembangan metode pembelajaran sosial termasuk
di dalamnya metode
pembelajaran role
playing.
Oemar Hamalik (2001: 199) mengemukakan
bermain peran adalah suatu jenis teknik simulasi yang
umumnya digunakan untuk pendidikan
sosial dan hubungan antar
insani. Teknik itu bertalian dengan
studi kasus, tetapi kasus tersebut melibatkan individu manusia
dan
tingkah laku mereka atau interaksi antarindividu
tersebut dalam bentuk dramatisasi.
Berdasarkan
pemikiran
Syaiful Sagala (2003:
213)
sosiodrama
(role
playing) berasal dari kata sosio dan drama. Sosio berarti sosial menunjuk pada objeknya yaitu masyarakat, menunjuk
pada kegiatan-kegiatan sosial, dan drama
berarti mempertunjukkan, mempertontonkan atau
memperlihatkan.
Sudjana (2005: 134)
mengungkapkan bahwa bermain peran adalah
teknik kegiatan
pembelajaran yang menekankan pada kemampuan penampilan peserta didik untuk memerankan status dan fungsi pihak-pihak
lain yang terdapat pada kehidupan
nyata.
Dari berbagai pendapat ahli di atas dapat disimpulkan, metode
role playing ialah metode pembelajaran yang
dalam
kegiatan belajarnya
peserta didik mendapat tugas untuk
mendramatisasikan atau memerankan suatu
situasi sosial yang mengandung suatu problem, siswa belajar memainkan peran-peran tertentu
yang ada dan nyata dalam kehidupan secara
berkelompok agar peserta
didik dapat memecahkan
masalah yang muncul
dari suatu situasi sosial
tersebut.
Metode bermain peran sesuai digunakan dalam pembelajaran IPS, karena
dengan metode role playing
siswa akan ditugaskan untuk berbuat (berperan) memainkan
peran-peran tertentu yang ada dalam
kehidupan
nyata. Misalnya siswa ada
yang berperan sebagai
tokoh Pangeran Diponegoro. Dengan
role playing siswa memiliki aktivitas sendiri dalam kegiatan pembelajaran sehingga partisipasi belajarnya dapat ditingkatkan. Penggunaan metode role playing ini menekankan
pentingnya keterlibatan
langsung
atau partisipasi
peserta didik
dalam situasi dan
masalah dalam suatu
kelompok. Artinya siswa tidak hanya duduk dan mendengar
penjelasan guru, tetapi siswa berbuat, bertindak, mengalami dan membentuk pengalaman belajar masing-masing baik secara individu maupun dengan bantuan kelompok.
2.
Langkah-langkah Metode
Role Playing
Guru bertugas mendidik dan memberikan pengajaran di sekolah.
Dalam menyampaikan materi kepada
siswa, tentunya guru perlu memperhatikan langkah- langkah yang
benar sesuai dengan metode pembelajaran yang
digunakan. Berikut langkah-langkah penggunaan
metode
role playing menurut Oemar Hamalik
(2001: 215–217) sebagai
berikut:
a.
Persiapan
dan instruksi
1)
Guru memiliki
situasi/dilema bermain
peran. Situasi
yang dipilih harus menitik beratkan
pada jenis peran, masalah dan
situasi
familiar,
serta penting bagi siswa.
2)
Sebelum pelaksanaan
bermain
peran, siswa harus
mengikuti
latihan pemanasan, latihan-latihan ini dikuti oleh semua
siswa,
baik sebagai partisipasi
aktif maupun pengamat aktif.
3)
Guru memberikan instruksi
khusus
kepada
peserta
bermain
peran setelah memberikan penjelasan pendahuluan
kepada
keseluruhan kelas.
4)
Guru memberitahukan peran-peran yang akan dimainkan serta memberikan instruksi-instruksi yang
bertalian dengan masing- masing
peran kepada
audience.
b.
Tindakan dramatik dan
diskusi
1)
Para
aktor terus melakukan perannya sepanjang
situasi bermain
peran,
sedangkan audience berpartisipasi dalam penugasan awal
kepada pemeran.
2)
Bermain
peran
harus berhenti pada
titik-titik penting apabila terdapat tingkah laku tertentu yang
menuntut dihentikannya
permainan tersebut.
3)
Keseluruhan kelas selanjutnya berpartisipasi dalam diskusi yang terpusat
pada situasi bermain peran.
c.
Evaluasi bermain peran
1)
Siswa
memberikan
keterangan, baik
secara tertulis
maupun
dalam bentuk diskusi tentang keberhasilan dan hasil-hasil yang
dicapai dalam bermain
peran.
2)
Guru menilai efektivitas
dan keberhasilan bermain
peran.
3)
Guru membuat bermain peran yang telah dilaksanakan dan telah
dinilai tersebut dalam
sebuah jurnal sekolah
(kalau
ada),
atau pada buku catatan guru.
Berdasarkan pendapat Sudjana (2005: 136–137) langkah-langkah
penggunaan metode
role playing
sebagai berikut:
a.
Pendidik bersama peserta didik menyiapkan bahan belajar berupa
topik yang akan dibahas. Topik itu hendaknya mengandung peran-
peran yang seharusnya terjadi dalam
situasi tertentu.
b.
Pendidik bersama peserta didik mengidentifikasi
dan
menetapkan peran-peran
berdasarkan kedudukan
dan tugas masing-masing.
c.
Pendidik membantu peserta didik untuk menyiapkan tempat, waktu, dan
alat-alat yang digunakan
dalam kegiatan pembelajaran.
d.
Pendidik membantu
para
peserta
didik untuk melaksanakan permainan peran
dengan:
1)
menjelaskan tujuan dan
langkah-
langkah bermain peran, sedangkan
peserta didik
bertanya,
memperhatikan,
dan mencatat hal-hal yang dipandang perlu
mengenai penjelasan yang
diberikan pendidik, 2) para peserta didik
dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama memainkan peran
dan
kelompok kedua sebagai pengamat, 3) pendidik menjelaskan
tugas masing-masing
kelompok untuk dilakukan selama kegiatan
belajar berlangsung, 4) kelompok pengamat menyiapkan diri, dan apabila
perlu mencatat hasil pengamatan pada format khusus, dan 5)
selesai bermain peran, para peserta
didik dibantu oleh pendidik
membahas hasil pengamatan
kelompok pengamat.
e.
Pendidik bersama para peserta didik melakukan penilaian terhadap
proses dan hasil penggunaan
teknik tersebut.
Dari pendapat diatas dapat diuraikan bahwa
langkah-langkah dalam role
playing terdiri dari tiga tahap yaitu tahap persiapan, tahap tindakan dan diskusi, serta tahap evaluasi. Pada tahap persiapan, guru membantu siswa untuk mengenalkan dan memahami situasi dalam bermain peran,
misalnya menjelaskan tentang keadaan peristiwa dan tokoh-tokoh yang akan diperankan. Pada tahap
persiapan ini siswa juga dibentuk
dalam dua kelompok yaitu kelompok partisipasi
aktif dan kelompok pengamat. Siswa diberi penjelasan tentang tanggung jawab dari
setiap kelompok baik itu
kelompok partisipan
atau kelompok pengamat.
Untuk tahap
tindakan dan diskusi, siswa diberi kesempatan yang sama untuk
mencoba bermain peran dengan ekspresinya sendiri. Kegiatan diskusi dibimbing
oleh guru untuk menumbuhkan pemahaman baru yang
berguna untuk merespon situasi lain dalam kehidupan sehari-hari. Jadi pemahaman siswa mengenai peran yang
dimainkan akan dihubungkan dengan
situasi dalam
kehidupan nyata. Tahap evaluasi,
siswa diberi kesempatan untuk memberikan komentar, pendapat, atau
masukan yang evaluatif
tentang proses bermain
peran yang telah
dilaksanakan.
3.
Tujuan Metode
Role Playing
Oemar Hamalik (2001: 199) mengemukakan bahwa tujuan
bermain peran, sesuai
dengan
jenis belajar adalah
sebagai berikut:
a.
Belajar dengan berbuat. Para siswa
melakukan peranan
tertentu sesuai
dengan kenyataan
yang sesungguhnya.
Tujuannya adalah
untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan
interaktif
atau keterampilan reaktif.
b.
Belajar melalui
peniruan (imitasi). Para siswa pengamat drama menyamakan diri dengan pelaku (aktor) dan
tingkah laku mereka.
c.
Belajar melalui balikan. Para pengamat mengomentari (menanggapi)
perilaku pemain yang ditampilkan. Tujuannya adalah untuk mengembangkan prosedur-prosedur kognitif dan prinsip-prinsip yang mendasari perilaku keterampilan yang telah didramasasikan.
d.
Belajar melalui pengkajian, penilaian, dan pengulangan. Para peserta dapat memperbaiki keterampilan-keterampilan mereka
dengan mengulanginya dalam
penampilan berikutnya.
Pendapat dari
Sudjana
(2005: 134) menjelaskan
bahwa
dengan bermain
peran diharapkan peserta didik memperoleh pengalaman yang
diperankan oleh
pihak-pihak lain. Teknik ini dapat digunakan pula untuk merangsang pendapat
peserta didik dan menemukan kesepakatan
bersama tentang ketepatan,
kekurangan, dan pengembangan peran-peran yang dialami atau diamati. Sehubungan dengan hal itu tujuan penggunaan teknik ini
antara lain adalah untuk mengenalkan peran-peran
dalam dunia nyata kepada peserta didik.
Tujuan dari penggunaan metode role playing
atau bermain peran adalah agar
siswa mendapatkan
pengalaman dan
pengetahuan dari belajar
dengan
berbuat, belajar melalui peniruan, balikan dan pengulangan. Penggunaan metode
role playing memberi kesempatan pada siswa
untuk
melakukan sendiri kegiatan
belajar baik fisik maupun psikis guna memperoleh pengetahuan dan pemahaman.
Siswa tidak hanya
mendapatkan pengalaman dan pengetahuan dari guru atau buku
paket, tetapi belajar melalui proses yang dilakukan setiap siswa baik secara
individu maupun kelompok.
Siswa mampu belajar mengekspresikan pendapatnya, belajar
memahami perilaku orang lain,
dan belajar memahami
nilai-nilai
dalam suatu hubungan sosial. Selain untuk membentuk pengalaman belajar siswa, metode role playing mampu mengenalkan
siswa kepada peran-peran yang
ada
di masyarakat.
4.
Kelebihan Metode Role Playing
Oemar Hamalik (2001: 214)
mengemukakan pada waktu dilaksanakannya
bermain peran,
siswa dapat bertindak dan mengekspresikan perasaan dan pendapatnya
tanpa kekhawatiran mendapat sanksi. Bermain peran memungkinkan
para siswa mengidentifikasi situasi-situasi dunia nyata dan dengan ide-ide orang
lain.
Roestiyah (1998: 93) menguraikan bahwa keunggulan
dari bermain peran adalah:
“Dengan teknik ini, siswa
lebih tertarik perhatiannya pada pelajaran, karena masalah-masalah sosial sangat berguna bagi mereka. Karena
mereka bermain peranan sendiri, maka
mudah memahami masalah- masalah
sosial itu. Bagi siswa
dengan berperan seperti orang lain, maka dapat menempatkan diri seperti watak orang
lain itu. Ia dapat merasakan perasaan orang
lain, dapat mengakui pendapat orang
lain, sehingga menumbuhkan sikap saling pengertian, tenggang rasa, toleransi dan cinta
kasih terhadap sesama makhluk, akhirnya siswa
dapat berperan dan
menimbulkan diskusi yang hidup, karena merasa menghayati sendiri permasalahannya. Juga penonton
tidak pasif, tetapi aktif
mengamati dan mengajukan
saran dan
kritik.”
Berdasarkan pendapat Sudjana (2005: 136) keunggulan metode role playing adalah sebagai
berikut:
a.
Peran yang ditampilkan peserta didik dengan menarik akan segera
mendapat perhatian
dari peserta didik
lainnya.
b.
Teknik
ini dapat
digunakan baik
dalam kelompok
besar maupun kelompok
kecil.
c.
Dapat membantu peserta didik untuk memahami pengalaman orang
lain yang melakukan
peran.
d.
Dapat membantu peserta didik untuk menganalisis dan memahami situasi serta memikirkan masalah yang terjadi dalam
bermain peran.
e.
Menumbuhkan rasa kemampuan dan kepercayaan diri peserta didik
untuk berperan dalam menghadapi
masalah.
Kelebihan
dari
metode bermain peran dapat membantu siswa untuk
mengubah perilakunya dan sikap ketika berinteraksi dengan orang lain, hal ini
dikarenakan dalam bermain peran siswa akan tergabung dalam suatu kelompok sosial dengan siswa yang
lainnya. Pada waktu bermain peran siswa dapat mengungkapkan pendapatnya, siswa akan lebih berani untuk menanggapi atau memberi masukan kepada
siswa lainnya, siswa lebih berani untuk saling berbagi
pengalaman, siswa
dapat saling bekerja sama untuk mengatasi masalah dan menemukan
solusinya dan
siswa dapat
memperoleh pengetahuan yang
lebih
bermakna. Dan secara tidak langsung partisipasi belajar siswa juga dapat
meningkat. Sifat mau bekerja sama antar
siswa
lainnya dapat ditumbuhkan dan
dibina dengan sebaik-baiknya, murid memperoleh kebiasaan untuk menerima dan
membagi tanggung jawab dengan sesamanya, siswa dapat mengembangkan hubungan interpersonal dengan siswa lainnya dan siswa dapat mengembangkan
kemampuan berkomunikasi
baik secara lisan
maupun tertulis.
C.
Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
1.
Pengertian IPS
Istilah “Ilmu
Pengetahuan Sosial”, disingkat IPS menurut Marsh &
Martorella (Etin Solihatin & Raharjo, 2009: 14) merupakan nama mata pelajaran di tingkat sekolah dasar dan menengah atau
nama program studi di perguruan tinggi yang identik dengan istilah “social studies” dalam kurikulum
persekolahan di negara lain, khususnya
di negara-negara barat seperti Australia dan Amerika Serikat.
Berdasarkan
pendapat Trianto
(2010: 171) ilmu pengetahuan sosial merupakan integrasi dari berbagai cabang
ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi,
sejarah, geografi, ekonomi,
politik, hukum dan budaya. Ilmu
Pengetahuan Sosial
dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan satu pendekatan
interdisipliner dari aspek
dan
cabang-cabang ilmu
sosial.
Pendapat Kosasih
seperti
yang dikutip
Trianto (2010:
173) menjelaskan bahwa
ilmu
pengetahuan sosial juga membahas hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Lingkungan dimana anak didik tumbuh dan berkembang sebagai
bagian dari masyarakat, dihadapkan pada berbagai permasalahan yang ada dan
terjadi di lingkungan sekitarnya.
Dari berbagai pendapat di atas maka
dapat disimpulkan bahwa
ilmu
pengetahuan sosial merupakan integrasi dari berbagai macam ilmu-ilmu sosial
seperti sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum dan budaya yang diwujudkan dalam satu pendekatan interdisipliner. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
lebih mengkaji hubungan manusia yang bersifat sosial
kemasyarakatan.
2.
Dimensi IPS
Dimensi dalam IPS dapat digunakan sebagai sumber atau
dasar
dalam
pengorganisasian materi yang akan
diajarkan oleh guru kepada peserta didik.
Berikut akan diuraikan dimensi-dimensi yang
terdapat dalam
pembelajaran IPS adalah sebagai
berikut:
a.
Dimensi
pengetahuan (knowledge)
Setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda antara individu yang
satu
dengan yang lainnya.
Secara konseptual,
pengetahuan (knowledge)
hendaknya mencakup
fakta, konsep, dan
generalisasi yang dipahami
oleh siswa (Sapriya, 2009:
49).
b.
Dimensi
keterampilan (skills)
Dalam pembelajaran IPS selain bekal pengetahuan yang diberikan kepada siswa, guru juga perlu membekali siswa dengan keterampilan
(skills). Keterampilan
dapat digunakan untuk mempersiapkan siswa menjadi warga
negara yang mampu
berpartisipasi
secara cerdas dalam masyarakat
demokratis. Menurut Sapriya (2009:
52–53) sejumlah keterampilan
yang
diperlukan sehingga menjadi unsur dalam dimensi IPS
dalam proses
pembelajaran.
1)
Keterampilan meneliti
Keterampilan
ini diperlukan untuk mengumpulkan dan mengolah
data. Namun, secara
umum
penelitian mencakup sejumlah aktivitas
sebagai berikut mengidentifikasi dan mengungkapkan masalah
atau isi, mengumpulkan dan
mengolah data, menafsirkan data,
menganalisis data, menilai
bukti-bukti yang
ditemukan, menyimpulkan,
menerapkan
hasil temuan dalam konteks yang
berbeda, dan membuat pertimbangan nilai.
2)
Keterampilan berpikir
Beberapa
keterampilan berpikir
yang perlu dikembangkan oleh guru di kelas untuk para siswa
meliputi mengkaji dan menilai data
secara kritis, merencanakan, merumuskan faktor sebab dan akibat, memperediksi hasil dari sesuatu kegiatan atau
peristiwa,
menyarankan apa yang akan ditimbulkan dari suatu peristiwa
atau perbuatan, curah
pendapat (brainstroming),
berspekulasi tentang masa depan, menyarankan berbagai solusi alternatif, dan mengajukan pendapat dari
perspektif yang berbeda.
3)
Keterampilan partisipasi social
Beberapa keterampilan partisipasi sosial yang perlu dibelajarkan
oleh guru meliputi mengidentifikasi akibat dari perbuatan dan
pengaruh ucapan terhadap orang lain, menunjukkan rasa hormat
dan perhatian
kepada orang
lain, berbagi tugas
dan pekerjaan dengan orang lain, berbuat efektif sebagai anggota kelompok, mengambil
berbagai peran kelompok,
menerima kritik dan
saran, dan menyesuaiakan kemampuan dengan tugas yang
harus diselesaikan.
4)
Keterampilan berkomunikasi
Pembelajaran
merupakan upaya untuk
mendewasakan seorang
anak manusia.
Salah satu ciri seorang yang dewasa adalah mereka yang mampu berkomunikasi
dengan orang lain
dengan
baik.
c.
Dimensi
nilai dan sikap (value and attitudes)
Pada hakikatnya, nilai merupakan sesuatu yang berharga. Nilai yang
dimaksud disini adalah seperangkat keyakinan
atau prinsip perilaku
yang
telah mempribadi dalam diri seseorang atau
kelompok masyarakat tertentu yang terungkap ketika berpikir dan
bertindak (Sapriya,
2009: 53).
Nilai yang
tumbuh dan berkembang
di masyarakat dapat dipelajari dari hubungan sosial antar anggota
masyarakat. Oleh karena itu, melalui pembelajaran IPS diharapkan dapat memperkenalkan
dan menginternalisasi
berbagai nilai kepada peserta didik. Proses internalisasi nilai tidaklah harus berdiri sendiri,
tetapi bisa dintegrasikan
dalam proses pembelajaran, salah
satunya dalam pembelajaran IPS.
d.
Dimensi
tindakan (action)
Tindakan sosial merupakan dimensi yang
penting karena tindakan dapat
memungkinkan siswa menjadi peserta didik yang aktif. Mereka pun dapat belajar berlatih secara konkret dan praktis. Dengan belajar dari apa yang
diketahui dan terpikirkan tentang
isu-isu sosial untuk dipecahkan sehingga
jelas apa yang
akan dilakukan dan bagaimana caranya, para siswa belajar menjadi
warga negara yang efektif di masyarakat (Sapriya,
2009: 56).
Penguasaan dan pengembangan dimensi dalam
pembelajaran IPS penting
bagi peserta didik karena pengetahuan yang
didapat siswa dapat menjadi bekal guna
menjalani kehidupan nyata di sosial masyarakat. Dimensi pengetahuan dapat
menambah pengetahuan dan
wawasan siswa, dimensi keterampilan
dapat
memberikan berbagai
keterampilan yang dibutuhkan saat
ikut serta berpartisipasi dalam
kehidupan masyarakat yang demokratis,
dimensi sikap dan
nilai dapat memberikan bekal tatanan bagi kehidupan
sehari-hari, nilai yang
telah terinternalisasi dalam diri peserta
didik dapat dijadikan
sebagai pedoman dalam bersikap dan
bertingkah laku dalam
kehidupan bermasyarakat.
3.
Substansi Materi Pembelajaran IPS
Dalam proses pembelajaran tugas guru antara lain adalah mengelola
bahan ajar yang
hendak disampaikan kepada siswa saat proses pembelajaran. Menurut Trianto (2010: 188) bahan ajar adalah bahan atau material atau sumber belajar yang mengandung substansi kemampuan
tertentu yang akan dicapai
oleh
siswa.
Adapun
substansi materi dalam pembelajaran IPS menurut Abdul Gafur &
Dikmenum dalam Trianto (2010: 188) terdiri atas fakta, konsep,
prinsip, prosedur
dan nilai.
a.
Fakta
Trianto (2010: 188) materi pembelajaran termasuk kategori fakta
jika menunjukkan suatu nama, objek, atau peristiwa yang terjadi secara nyata pada
suatu daerah atau tempat tertentu.
Jadi fakta adalah data yang spesifik tentang peristiwa, objek, orang, dan peristiwa yang terjadi secara nyata dalam
kehidupan.
Dalam pembelajaran
IPS, guru harus
berupaya untuk menyampaikan fakta sesuai dengan usia dan tingkat berpikir
masing-masing peserta
didik. Secara umum, fakta
untuk siswa SD kelas rendah hendaknya berupa peristiwa, objek,
dan hal-hal yang bersifat konkret, sedangkan untuk anak usia
SD kelas tinggi guru sudah
bisa menyampaikan fakta secara abstrak.
Oleh karena
itu,
guru perlu memperhatikan karakteristik dan perbedaan
individual masing-masing siswa dalam proses
pembelajaran.
b.
Konsep
Konsep adalah
materi
pembelajaran dalam
bentuk
definisi
atau batasan
atau pengertian dari suatu objek, baik yang bersifat abstrak
maupun konkret (Trianto, 2010: 189). Contoh materi yang berupa konsep dalam pembelajaran IPS misalnya apa itu
hukum? Jelaskan
ciri-ciri hukum? dan sebagainya.
Dalam mempelajari
konsep para siswa memerlukan pemahaman yang
utuh dan mendalam untuk bisa memahami konsep dengan benar. Bila dalam
proses pembelajaran siswa kurang memahami materi dalam bentuk konsep
maka akan terjadi misskonsep atau salah
konsep. Oleh karena itu guru perlu memiliki suatu cara yang efektif agar siswa dapat dengan mudah mempelajari
materi-materi dalam
bentuk
konsep.
c.
Prinsip
Prinsip adalah dasar
atau asas yang menunjukkan hubungan antar
berbagai konsep yang telah teruji kebenarannya sehingga
berlaku di mana saja
dan kapan saja (Trianto, 2010: 189). Hubungan antar
konsep memiliki sifat materi yang disebut generalisasi. Contoh prinsip dalam pembelajaran
IPS adalah
asas kewarganegaraan, asas hubungan internasional, perjanjian bilateral,
dan lain sebagainya.
d.
Prosedur
Prosedur
adalah tahapan atau
langkah-langkah untuk meyelesaikan
kegiatan atau aktivitas tertentu atau secara singkat sering
disebut tatacara (Trainto, 2010: 189). Materi dalam bentuk prosedur
menuntut peserta didik
untuk mengerjakan sesuai
dengan
langkah-langkah atau
urutan tertentu.
Materi dalam bentuk prosedur dapat digunakan untuk mengembangkan partisipasi siswa
dalam pembelajaran di kelas. Contoh prosedur dalam
pembelajaran IPS adalah urutan Pemilu, cara menetapkan ketua, prosedur peradilan HAM
dan
lain sebagainya.
e.
Nilai
Menurut penjelasan Trianto (2010: 190), secara
harfiah nilai dapat diartikan
sebagai sesuatu
yang berguna (usefull) atau berharga. Dalam konteks sosiokultural, nilai diartikan sebagai sesuatu yang
diyakini kebenarannya dan berguna bagi kehidupan masyarakat dan manusia pada
umumnya.
Nilai merupakan suatu yang diyakini oleh masyarakat yang dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan sikap
dan perbuatan
manusia
dalam kehidupan. Contoh nilai yang dikembangkan dalam pembelajaran IPS adalah tanggung jawab, jujur, tolong
menolong, kerja keras, disiplin, menghargai
perbedaan dan
lain sebagainya.
Jadi
substansi materi dalam pembelajaran IPS yang
harus diberikan kepada peserta didik meliputi fakta, konsep, prinsip, prosedur,
dan
nilai. Fakta merupakan
data mengenai suatu fenomena yang benar-benar nyata terjadi dalam kehidupan,
konsep adalah kumpulan dari beberapa fakta yang membentuk suatu definisi baik
secara konkrit maupun abstrak. Prinsip
merupakan dasar atau asas yang terjalin
dari beberapa konsep,
prosedur adalah langka-langkah dalam menyelesaikan suatu
kegiatan, dan nilai merupakan sesuatu yang dijadikan pedoman masyarakat untuk bertindak dan
berperilaku.
Dengan demikian pembelajaran IPS dapat digunakan
sebagai sarana
internalisasi nilai bagi peserta didik. Nilai tersebut dapat digunakan untuk membentuk manusia yang
memiliki akhlak mulia, berkepribadian baik, mandiri,
cakap, dan kreatif sesuai dengan tujuan pendidikan kita. Berdasar hal di atas maka
guru perlu memiliki metode pembelajaran yang sesuai untuk mengajarkan kelima
sustansi materi dalam IPS tersebut secara komprehensif. Metode pembelajaran
harus berkenaan dengan kegiatan yang nyata dan praktis agar penyampaian materi
dalam IPS yang bisa
memberikan pengalaman belajar bagi
siswa.
4.
Tujuan Pembelajaran IPS
Tujuan
utama IPS menurut Gross dalam
Trianto (2010: 174) ialah “to
prepare students to be
well functioning citizens in a democratic
society”. Artinya ialah untuk mempersiapkan mahasiswa menjadi warga negara yang
baik dalam kehidupannya di masyarakat.
Trianto (2010: 176) menjelaskan bahwa tujuan
utama ilmu pengetahuan sosial ialah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap
perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil
mengatasi setiap masalah yang terjadi
sehari-hari,
baik yang menimpa dirinya sendiri maupun
yang menimpa masyarakat.
Pada dasarnya tujuan pendidikan IPS adalah untuk mendidik
dan memberi bekal kemampuan dasar kepada
siswa
untuk mengembangkan diri sesuai bakat,
minat,
kemampuan,
dan lingkungannya, serta berbagai bekal siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Etin Solihatin & Raharjo,2009: 15).
Mengutip pendapat dari Sapriya (2009: 194–195) tujuan mata pelajaran IPS untuk jenjang
SD/MI sebagai
berikut:
a.
Mengenal
konsep-konsep yang berkaitan
dengan
kehidupan
masyarakat
dan lingkungannya.
b.
Memiliki
kemampuan
dasar untuk berpikir
logis
dan kritis, rasa
ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan
dalam
kehidupan sosial.
c.
Memiliki komitmen dan
kesadaran terhadap nilai-nilai sosial.
d.
Memiliki kemampuan
berkomunikasi,
bekerja
sama
dan
berkompetisi dalam masyarakat yang
majemuk, di tingkat lokal, nasional,
dan
global.
Dari beberapa pengertian diatas dapat dijelaskan bahwa tujuan pembelajaran IPS adalah
untuk mendidik dam mengembangkan segala
potensi dan kemampuan
peserta didik agar memiliki kemampuan dasar yang berguna
bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan
bernegara. Oleh karena itu
pembelajaran IPS tidak
hanya sekedar menghafal saja, tetapi bagaimana membekali siswa dengan
kemampuan yang diperlukan dalam kehidupan sosial masyarakat. Melalui
pembelajaran IPS, siswa diharapkan dapat memahami lingkungan dimana ia menjadi bagian dari masyarakat, dapat belajar tentang nilai-nilai yang ada di masyarakat, dan mampu berpartisipasi dalam masyarakat demokratis.
Berdasarkan hal di atas maka dibutukan suatu pola pembelajaran yang mampu
menjembatani tercapainya tujuan tersebut. Kosasih dalam Etin Solihatin & Suharjo (2009: 15) mengemukakan bahwa kemampuan dan keterampilan guru dalam memilih dan menggunakan berbagai model, metode dan strategi
pembelajaran senatiasa terus
ditingkatkan, agar pembelajaran
IPS
benar-benar
mampu mengkondisikan upaya pembekalan kemampuan dan keterampilan dasar bagi siswa untuk menjadi manusia
dan warga negara yang baik.
Hal ini juga didasari bahwa
pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang
mampu mengembangkan potensi peserta didik, sehingga yang bersangkutan
mampu menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya.
Belajar IPS hendaknya
dapat
memberdayakan dan mengembangkan
segala
potensi dan kemampuan siswa, baik dari
segi pengetahuan (knowledge), sikap
(attitude), maupun
keterampilan (skills). Dengan mengembangkan bekal
pengetahuan siswa
dapat peka terhadap perkembangan jaman yang semakin maju,
siswa memiliki sikap yang
baik dalam menanggapi segala permasalahan yang terjadi
di masyarakat, dan dengan pengembangan keterampilan
siswa memiliki kompetensi yang
dibutuhkan dalam masyarakat luas. Semua potensi yang dimiliki
peserta
didik ini dapat diwujudkan
dalam proses pembelajaran IPS melalui keterlibatan siswa
di dalam proses belajar. Dimana
pembelajaran dalam IPS lebih berkaitan dengan kehidupan sesama manusia, manusia dengan lingkungannya dan sosial budaya.
D.
Kerangka Pikir
Penggunaan metode pembelajaran role
playing merupakan salah
satu cara untuk
mengikutsertakan siswa
agar berpartisipasi aktif dalam kegiatan
pembelajaran di kelas.
Dalam metode
pembelajaran role
playing
ini, siswa
dituntut untuk memerankan peran tertentu sehingga siswa tidak hanya pasif di dalam kelas. Interaksi antar siswa dengan siswa yang
lain di dalam proses
pembelajaran merupakan salah
satu ciri dari metode role playing. Melalui metode
role playing, siswa akan ikut berpartisipasi mulai dari proses awal pembelajaran
sampai evaluasi di akhir pembelajaran.
Pembelajaran IPS dengan menggunakan metode role playing dapat memberikan peluang kepada semua siswa tanpa terkecuali untuk ambil bagian
dalam proses pembelajaran. Melalui metode role playing
ini siswa belajar melalui
proses mengalami, berbuat dan mereaksi sehingga
siswa tidak hanya menjadi
pendengar di dalam kelas. Metode ini menuntut partisipasi belajar dari semua
siswa agar pembelajaran yang didapan lebih bermakna dan siswa dapat
menemukan pengalaman dalam
belajar.
Metode ini sesuai digunakan dalam pembelajaran IPS karena IPS ditingkat sekolah
pada
dasarnya
bertujuan
untuk
mempersiapkan peserta
didik sebagai
warga negara yang menguasai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills),
sikap dan nilai (attitudes and values) yang dapat digunakan sebagai kemampuan
untuk memecahkan masalah pribadi atau
masalah sosial serta
kemampuan
mengambil keputusan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan dalam
masyarakat
sehingga menjadi warga yang baik.
Mata pelajaran IPS diharapkan dapat membekali siswa dengan berbagai
kemampuan dasar yang diperlukan siswa
dalam menjalani kehidupan mereka
kelak. Guru sebagai salah satu tulang punggung
keberhasilan pembelajaran di
sekolah untuk menghasilkan
output
yang memadai
dan memenuhi kriteria
tentunya harus memiliki daya dan
upaya untuk memilih metode,
strategi dan pendekatan belajar agar bisa mengoptimalkan segala potensi
yang dimiliki oleh setiap
peserta didik.
Oleh karena
itu
penggunaan metode ini dapat digunakan sebagai usaha
perbaikan atau
sebuah
tindakan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk
lebih memiliki partisipasi belajar
dalam pembelajaran IPS. Sehingga
siswa dimungkinkan dapat berpartisipasi aktif dalam mendiskusikan dan memilih cara
atau strategi untuk menyelesaikan permasalahan, bekerja secara
bebas dengan
teman yang
lain, bertanya
kepada guru untuk bila
menemui kesulitan,
dan berbagai aktivitas lainnya.
E.
Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kerangka berfikir tersebut diatas dapat diajukan hipotesis
tindakan sebagai berikut:
“Menggunakan metode
role
playing dapat meningkatkan partisipasi belajar
pada mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial di
kelas V SD
Negeri
04 Salo.”
F.
Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional variabel merupakan suatu definisi singkat dari
variabel penelitian yang dapat dioperasionalkan atau dapat menjadi arahan
untuk pelaksanaan didalam penelitian. Maka
definisi operasional variabel dalam penelitian
ini adalah:
1.
Partisipasi
belajar siswa
Partisipasi belajar
siswa adalah
peran serta atau
keterlibatan seorang
siswa atau semua siswa dalam kegiatan pembelajaran. Wujud dari adanya partisipasi belajar siswa dalam pembelajaran dapat dilihat dari aktivitas siswa
ketika
mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan, menyelesaikan
tugas secara tuntas, ikut serta berdiskusi, mencatat penjelasan guru,
menyelesaikan
soal di papan tulis, mengerjakan tes secara individu, dan meyimpulkan pelajaran.
2.
Metode role
playing
Metode role playing merupakan kegiatan belajar dimana siswa
belajar cara penguasaan
materi melalui
memainkan
peran-peran yang nyata
dalam
kehidupan secara berkelompok. Siswa dikenalkan pada situasi atau peranan tertentu
dalam kehidupan, kemudian
siswa membentuk kelompok partisipan,
siswa bersama guru saling mengatur skenario bermain peran. Selanjutnya sebagian siswa
bertugas sebagai pengamat untuk mengamati proses bermain peran yang dilakukan temannya. Selanjutnya siswa saling berdikusi
dan mengevaluasi dengan konsep
peranan dalam kehidupan nyata,
dan saling berbagi pengalaman untuk mendapatkan kesimpulan.